Oleh: Ustadz Yusuf Suharto, Ketua Aswaja NU Center Jombang
Pertanyaan:
Saya pernah mendengar sebuah hadits Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori yang menceritakan ketika Nabi SAW. menjenguk orang sakit, beliau berkata:
لا بأس طهور إن شاء الله
“Tidak apa, semoga menjadi penghapus dosa, jika Allah menghendakinya.” Apakah benar sakit itu bisa meluruhkan dosa?
Ali Ridlo (Madura)
Jawaban:
Benar sekali, sakit dan musibah itu bisa menjadi sarana untuk peluruhan dosa. Namun, tentu tidak serta merta demikian jika dalam hati dan sikap justru kita tidak menerima, atau tidak sabar atas apa yang menimpa kita itu. Sabar tak hanya dilakukan ketika kita diuji dengan sakit, tetapi juga ketika kita diuji dalam kondisi sehat. Ketika sedang diuji sakit, kesabaran seseorang akan tampak dari akhlak dalam menyikapinya.
Telah disebutkan dalam Shahih Bukhari dari hadits Abu Hurairah radhiallohu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda:
ما أَنْزَلَ الله دَاءً إلا أَنْزَلَ له شِفَاءً
“Tidaklah Allah menurunkan satu penyakit melainkan Allah telah menurunkan untuknya obat penyembuh,” (HR.Bukhari,no:5354)
Demikian pula disebutkan dalam Shahih Muslim dari hadits Jabir radiallohu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda:
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فإذا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللَّهِ عز وجل
“Setiap penyakit ada obatnya, jika obat itu sesuai dengan penyakitnya, akan sembuh dengan izin Allah Azza wajalla,”(HR.Muslim¬,no:2204)
Disebutkan pula dari hadits Usamah bin Syarik radiallohu ‘anhu, berkata : Telah datang seorang Baduwi kepada Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, lalu berkata: Wahai Rasulullah, Siapakah manusia terbaik? Beliau menjawab: yang paling baik akhlaknya. Lalu Ia bertanya lagi: Wahai Rasulullah, Apakah boleh kami berobat? Jawab Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, “Berobatlah wahai hamba Allah, sesungguhnya Allah tidak menurunkan satu penyakit melainkan Allah menurunkan obat untuknya, ada yang mengetahuinya dan ada pula yang tidak mengetahuinya.”
Dengan demikian sesungguhnya, sangatlah merugi bagi seorang yang ketika diuji sakit disikapi dengan emosi. Tetap saja tak akan menjadikannya sembuh dari sakitnya, bahkan akan menambah deritanya. Kalau mereka mengetahui bahwa sakit itu akan meluruhkan dosa, mungkin mereka akan sangat bersyukur telah diberi sakit. Selanjutnya, bagaimana sikap sabar kita dalam menghadapinya? Ada beberapa sikap sabar yang dapat kita latih saat kita diuji sakit.
Sikap Berprasangka Baik kepada Allah
Sikap tersebut dapat kita awali dengan sikap menyadari sepenuhnya, bahwa tubuh ini bukan milik kita, melainkan milik Allah Swt. Dia-lah yang menjadikan kita sehat, sakit, dan lain sebagainya. Walaupun kita berobat ke dokter, tetapi semua keputusan ada dalam kehendak-Nya. Selain itu, kita patut menyadari bahwa setiap sakit yang kita derita pada hakikatnya sudah diukur Allah Swt. Sikap sabar tersebut akan berbuah keyakiyang. Kita akan meyakini bahwa Allah Swt. tak akan menimpakan suatu penyakit pada kita bila tak ada hikmahnya. Sehingga, kita terpanggil untuk mengevaluasi diri. Mungkin saja sakit yang kita derita sebab kita tak memenuhi hak anggota tubuh kita dengan benar. Misalnya, kita melalaikan diri dengan memporsir pikiran sehingga kepala menjadi pusing, mengabaikan hak perut sehingga perut menjadi sakit, tak menyempatkan olahraga sehingga tubuh mudah lemah, dan kelalaian dalam memenuhi hak anggota tubuh lainnya.
Sikap Menerima Sepenuhnya Ketentuan Allah Swt.
Sikap ini dilakukan dengan cara tak berkeluh kesah, atau bahkan berputus asa. Berkeluh kesah dan berputus harapan merupakan tanda-tanda dari ketidaksabaran. Biasanya orang sakit bukan menderita sebab sakitnya, tetapi lebih kepada sikapnya yang hiperbola dalam menghadapinya. Hal ini mengindikasikan bahwa orang tersebut kurang dapat menerima ketentuan Allah Swt. sehingga ia terdorong keinginannya untuk dikasihani dan orang-orang berempati padanya. Memang tak mudah menerapkan rasa sabar dan syukur pada saat kesusahan. Oleh sebab itu, separah apapun penyakit kita, cobalah untuk menghadapinya secara proporsional dan tak berlebih.
Sikap Merenungkan Hikmah Sakit
Hal ini bisa menjadi wahana untuk menginstropeksi diri, juga sebagai penggugur dosa. Sesungguhnya, orang-orang sabar memiliki kemampuan untuk dapat dekat dengan Allah Swt. Oleh sebab itu, jadikanlah sabar sebagai penolong kita seperti halnya shalat yang seyangtiasa kita kerjakan.
Selain sikap sabar, kita juga patut mensyukuri segala ujian yang menimpa kita. Sikap syukur ini bisa kita kerjakan dengan meningkatkan ibadah kita kepada Allah Swt. Dengan sikap ini akan semakin mendekatkan kita kepada Rabb, Allah Swt.
Sakit dan Musibah merupakan Penghapus dosa
Telah menjadi ketetapan dari Allah Azza wa Jalla bahwa setiap manusia pasti pernah mengalami sakit dan musibah selama hidupnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi roji’uun’. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk ”. (QS. Al-Baqaroh : 155-157).
Ini adalah hikmah terpenting sebab diturunkannya sakit dan musibah. Seringkali kita mendengar manusia ketika ditimpa sakit dan musibah malah mencaci maki, berkeluh kesah, bahkan yang lebih parah meratapi nasib dan berburuk sangka dengan takdir Allah. Nauzubillah, kita berlindung kepada Allah dari perbuatan semacam itu. Padahal apabila mereka mengetahui hikmah dibalik semua itu, maka –insya Allah– sakit dan musibah terasa ringan disebabkan banyaknya rahmat dan kasih sayang dari Allah Ta’ala.
Hikmah dibalik sakit dan musibah diterangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan daun-daunnya”. (HR. Bukhari no. 5660 dan Muslim no. 2571).
“Tidaklah seseorang muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundah-gulanan hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahannya”. (HR. Bukhari no. 5641).
“Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengan dosa-dosanya”. (HR. Muslim no. 2573).
“Sesungguhnya Allah benar-benar akan menguji hamba-Nya dengan penyakit, sehingga ia menghapuskan setiap dosa darinya”. (HR. Al-Hakim I/348). “Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau yang lebih dari itu, melainkan ditetapkan baginya dengan sebab itu satu derajat dan dihapuskan pula satu kesalahan darinya”. (HR. Muslim no. 2572).
Apabila sakit dan musibah telah menimpa, maka seorang mukmin haruslah sabar dan ridho terhadap takdir Allah Azza wa Jalla, dan harapkanlah pahala serta dihapuskannya dosa-dosanya sebagai ganjaran dari musibah yang menimpanya.
Sakit dan musibah juga diharapkan mampu menyadarkan seorang hamba yang tadinya lalai dan jauh dari mengingat Allah –karena tertipu oleh kesehatan badan dan sibuk mengurus harta– untuk kembali mengingat Robb-nya. Karena jika Allah mencobanya dengan suatu penyakit atau musibah barulah ia merasakan kehinaan, kelemahan, teringat akan dosa-dosa, dan ketidakmampuannya di hadapan Allah Ta’ala, sehingga ia kembali kepada Allah dengan penyesalan, kepasrahan, memohon ampunan dan berdoa kepada-Nya.
Sakit dan musibah merupakan pintu yang akan membukakan kesadaran seorang hamba bahwasanya ia sangat membutuhkan Allah Azza wa Jalla. Tidak sesaatpun melainkan ia butuh kepada-Nya, sehingga ia akan selalu tergantung kepada Robb-nya. Dan pada akhirnya ia akan senantiasa mengikhlaskan dan menyerahkan segala bentuk ibadah, doa, hidup dan matinya, hanyalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.