Sunday, March 17, 2013


Siapakah ulama ??? SIAPA ULAMA YANG DI KATAKAN PEWARIS NABI

oleh Argula Rindhu Maghfiroh pada pada 30hb Disember 2012 pukul 11.43 pagi ·

 


Siapakah yang dimaksud ulama ??

Cobalah baca tulisan-tulisan mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh berikut ini

http://isnad.net/media/Muhammad_Sewed_di_Gugat.pdf
http://isnad.net/?dl_name=kumal-kumal-dzul-akmal.pdf
http://isnad.net/dialog-luqman-hizbi-firanda-sururi
http://isnad.net/?dl_name=dzulqornain_yayasan.rar
http://isnad.net/media/dzul-akmal-undercover.pdf

Mereka adalah para ulama namun coba perhatikan tulisan-tulisan mereka, bagaimana mereka memperlakukan firman Allah Azza wa Jalla maupun Hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam demi kepentingan atau hawa nafsu mereka masing-masing

Ulama adalah ahli ilmu agama.  Pada zaman kini dapat kita temukan ulama tetapi tidak mengenal Allah (ma’rifatullah) karena mereka bertambah ilmu tetapi tidak bertambah dekat kepada Allah.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh”

Ulama pada hakikatnya adalah muslim yang mengenal Allah (ma’rifatullah) atau muslim yang bermakrifat atau muslim yang ihsan (muhsin)

Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.‘ (HR Muslim 11)

Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi).

Ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulama sebelumnya yang tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“

Pewaris Nabi artinya menerima dan mengikuti risalah Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan baik dan benar secara kaaffah meliputi aqidah (Iman) , ibadah (Islam/syariat) dan akhlaq (Ihsan/tasawuf)

Laki-laki itu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Islam adalah kamu tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, mendirikan shalat, membayar zakat, dan berpuasa Ramadlan.’ Dia berkata, ‘Kamu benar.’ Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah iman itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, beriman kepada kejadian pertemuan dengan-Nya, beriman kepada para Rasul-Nya, dan kamu beriman kepada hari kebangkitan serta beriman kepada takdir semuanya’. Dia berkata, ‘Kamu benar’. Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu. (HR Muslim 11)

Kelemahan sebagian perguruan-perguruan tinggi Islam pada masa kini adalah santri tidak mendapatkan pengamalan tasawuf (ihsan/akhlak) sehingga tidak melahirkan ulama sejati yang takut kepada Allah.

Perhatikanlah dua buah video pada
http://www.youtube.com/watch?v=hlCdzVo8Ueo
http://www.youtube.com/watch?v=DZdjU2H6hpA

Kedua video tersebut berisikan nasehat dari seorang ulama keturunan cucu Rasulullah terhadap seorang ulama yang anti tasawuf. Dalam nasehat beliau telah berulangkali disampaikan, Ittaqullah, takutlah kepada Allah.

Akhlak yang buruk adalah mereka yang tidak takut kepada Allah atau mereka yang berpaling dari Allah karena mereka memperturutkan hawa nafsu.

Akhlak yang baik adalah mereka yang takut kepada Allah atau mereka selalu memandang Allah setiap akan bersikap atau berbuat.

Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan agar kita menjalankan perkara syariat sekaligus menjalankan tasawuf agar tidak menjadi manusia yang rusak (berakhlak tidak baik).

Imam Malik ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (menjalankan syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fiqih (menjalankan syariat) tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar“

Begitupula Imam Syafi’i ~rahimahullah menasehatkan kita agar mencapai ke-sholeh-an sebagaimana salaf yang sholeh adalah dengan menjalankan perkara syariat sebagaimana yang mereka sampaikan dalam kitab fiqih sekaligus menjalankan tasawuf untuk mencapai muslim yang baik, muslim yang sholeh, muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang Ihsan

Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat), maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]

Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.” Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)” Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”

Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “ Pokok-pokok metode ajaran tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi).

Kesimpulannya ulama adalah muslim yang ahli ilmu agama dan mengenal Allah (ma’rifatullah) atau ulama yang berma’rifat, menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh)

Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”

Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Nya? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”

Jika belum dapat bermakrifat yakinlah bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.

Rasulullah bersabda yang artinya “jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)

Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“

Rasulullah shallallahu alaihi wasallm  bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)

Muslim yang yakin selalu merasa diawasi/dilihat oleh Allah Azza wa Jalla atau yang terbaik muslim yang bermakrifat (melihat Allah dengan hati) maka mereka mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar hingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah sesuai dengan tujuan beragama atau sesuai dengan tujuan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla

Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).

Kita kaum muslim tujuan beragama adalah merupakan upaya meneladani akhlak manusia yang paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

Firman Allah ta’ala yang artinya,

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)

“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)

Jadi kalau ada seseorang dikenal telah mendalami ilmu agama namun tidak berakhlak baik maka bisa dipastikan ilmu agama yang dipahaminya telah keliru, tidak disesuai dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Ketidak sesuaian dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena mereka mendapatkan ilmu dari ulama yang tidak bersanad ilmu atau bersanad guru tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Mereka mendapatkan ilmu bersandarkan akal pikiran atau prasangka manusia semata.

Ilmu agama atau ilmuNya bukan berasal dari akal pikiran manusia namun berasal dari lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang berasal dari apa yang telah diwahyukan oleh Allah Azza wa Jalla. Kemudian dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam disampaikan melalui lisan ke lisan ulama yang sholeh sampai kepada hambaNya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)

Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )

Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)

Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.

Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”

Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203

Oleh karenanya dalam memahami ilmuNya atau memahami agama Islam, sebaiknya janganlah berhenti atau berpuas diri bersandar pada akal pikiran seorang manusia. Sebaiknya telusurilah terus sampai tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena kebenaran adalah apa yang diwahyukanNya dan disampaikan oleh Nabi kita , Sayyidina Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.

Telusurilah kembali apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melalui dua jalur utama yakni

1. Jalur ulama yang sholeh, bersanad ilmu atau bersanad guru tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

2. Jalur ulama yang sholeh, bernasab atau bersilsilah keturunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mendapatkan pengajaran agama dari orang tua-orang tua terdahulu tersambung kepada Imam Sayyidina Ali ra yang mendapatkan pengajaran agama langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Telusurilah terus hingga yakin bahwa yang diterima adalah benar dari lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bukan akal pikiran manusia yang didalamnya ada unsur hawa nafsu dan kepentingan.

Marilah kita menegakkan ukhuwah Islamiyah dengan mengakhiri perselisihan karena perbedaan pemahaman. Bersatulah dengan menyambungkan sanad ilmu hingga tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Cara menyambung sanad ilmu melalui dua jalur

1. Melalui sanad guru, mengikuti ulama yang bermazhab yang tersambung kepada Imam Mazhab yang empat.

Contohnya tersambung kepada sanad gurunya Imam Syafi’i ra

Sanad guru Imam Syafi’i ra
a. Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
b. Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra
c. Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra
d. Al-Imam Malik bin Anas ra
e. Al-Imam Syafi’i Muhammad bin Idris ra

2. Melalui ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Ikuti apa yang disampaikan oleh Al Imam Al Haddad dan yang setingkat dengannya, sampai ke Al Imam Umar bin Abdurrahman Al Attos dan yang setingkat dengannya, sampai ke Asy’syeh Abubakar bin Salim, kemudian Al Imam Syihabuddin, kemudian Al Imam Al Aidrus dan Syeh Ali bin Abibakar, kemudian Al Imam Asseggaf dan orang orang yang setingkat mereka dan yang diatas mereka, sampai keguru besar Al Fagih Almugoddam Muhammad bin Ali Ba’alawi Syaikhutthorigoh dan orang orang yang setingkat dengannya, sampai ke Imam Al Muhajir Ilalloh Ahmad bin Isa dan orang orang yang setingkat dengannya

Sejak abad 7 H di Hadramaut (Yaman), dengan keluasan ilmu, akhlak yang lembut, dan keberanian Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra beliau berhasil mengajak para pengikut Khawarij untuk menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih dan Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam akidah. Tidak sedikit dari kaum Khawarij yang dulunya bersifat brutal, akhirnya menyatakan taubat di hadapan beliau. Dan sebelum abad 7 H berakhir, madzhab Khawarij telah terhapus secara menyeluruh dari Hadramaut, dan Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah diterima oleh seluruh penduduknya.

Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” terutama bagi kaum Alawiyin, karena kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya. Ini dapat dilihat bagaimana amalan mereka dalam bidang ibadah, yang tetap berpegang pada madzhab Syafi’i, seperti pengaruh yang telah mereka tinggalkan di Nusantara ini. Dalam bidang Tasawuf, meskipun ada nuansa Ghazali, namun di Hadramaut menemukan bentuknya yang khas, yaitu Tasawuf sunni salaf Alawiyin yang sejati

Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia.

Saat ini negeri muslimin terbesar di dunia adalah Indonesia , dan yang membawa Islam ke Indonesia adalah penduduk Yaman (yang datang pada abad ke – 16 dari Hadramaut dan juga ada yang melalui Gujarat), dari keluarga Al Hamid, As Saggaf , Al Habsy dan As Syathiry, Assegaf dan lain lain (masih banyak lagi para keluarga dzurriyat baginda Nabi saw, yang sampai kini masih terus berdakwah membimbing ummat di bumi Indonesia seperti: Al Aydrus, Al Attas, Al Muhdhor, Al Haddad, Al Jufri, Al Basyaiban, Al Baharun, Al Jamalullail, Al Bin Syihab, Al Hadi, Al Banahsan, Al Bin Syaikh Abu Bakar, Al Haddar, Al Bin Jindan, Al Musawa, Al Maulachila, Al Mauladdawilah, Al Bin Yahya, Al Hinduan, Al Aidid (–bukan Aidit–), Al Ba’bud, Al Qadri, Al Bin Syahab, dan lain lain) termasuk juga para Wali Songo, yang menyebar ke pedalaman – pedalaman Papua , Sulawesi, Pulau Jawa , mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas.

Berhati-hatilah dalam memilih dan mengikuti hasil pemahaman (ijtihad) seorang ulama. Apalagi jika hasil pemahaman (ijtihad) ulama tersebut sering dikritik atau dibantah oleh banyak ulama lainnya. Jangan menimbulkan penyesalan di akhirat kelak karena salah mengikuti ulama.

Firman Allah ta’ala yang artinya,

“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.” (QS al Baqarah [2]: 166)

“Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS Al Baqarah [2]: 167)
(mutiarazuhud)


Wednesday, March 13, 2013

KEHIDUPAN RASULULLAH SAW
DI DALAM KEDIAMANNYA

Oleh : Haji Daud bin Muhammad
Ketua Penyelia Agama Kelantan
Dikeluarkan oleh :
Jabatan Hal Ehwal Ugama Islam Kelantan
Rasulullah SAW di dalam rumah kediamannya :
Kehidupan Rasulullah SAW di dalam rumah kediamannya terbahagi kepada dua masa :
  1. Masa yang pertama sewaktu di Mekah.
  2. Masa yang kedua sewaktu di Madinah.
Di dalam kedua-kedua masa itu ada banyak perbezaannya serta banyak pula terdapat pahit gentir dan suka dukanya.
Adapun sewaktu di Mekah baginda tinggal sehingga sampai kepada umur dua puluh lima tahun dalam keadaan teruna, tidak ada rumah yang khusus untuknya di mana baginda di kala meningkat umur enam tahun dibawa oleh bondanya ke Madinah untuk menziarahi ibu saudaranya dari suku kaum Bani An-Najar dan ikut serta bersama-samanya pengasuhnya Ummu Aiman Al-Habsyiah. Baginda tinggal bersama-sama bondanya dan pengasuhnya di Madinah selama sebulan kemudian balik pula ke Mekah, apakala di Abwa' iaitu satu tempat di antara Mekah dan Madinah bondanya meninggal dunia dan dikebumikan di situ. Dan baginda diambil alih penjagaannya oleh Ummu Aiman dan dibawa balik kepada datuknya Abdul Muttalib selepas lima hari dari kematian bondanya. Maka datuknya terus menerima dengan memberi layanan yang istimewa mengatasi anak-anaknya. Pada ketika itu satu hamparan permaidani diletakkan di bawah bayangan Kaabah khusus untuk Abdul Muttalib sebagai menghormatinya dan tidak ada seorang pun baik dari kalangan keluarganya mahu pun dari bangsawan Quraisy yang berani duduk di atasnya malah mereka sentiasa menjaga dan mengawas hamparan itu dan baginda Rasulullah SAW semasa masih kanak-kanak lagi apabila tiba di sisi Kaabah terus duduk di atas hamparan itu lalu diketepikan oleh bapa-bapa saudaranya (anak kepada Abdul Muttalib sendiri) maka apabila datuknya Abdul Muttalib melihat tindakan itu lalu mengarahkan bapa-bapa saudaranya supaya membiarkan baginda duduk di atas hamparan itu kerana datuknya merasa satu penghormatan kepada dirinya dan berharap agar baginda akan sampai kepada kemuncak kemuliaan yang belum pernah dicapai oleh bangsa Arab sama ada sebelum atau selepasnya. Dan sesudah itu mereka tidak menghalang baginda lagi sama ada ketika datuknya hadir atau tidak.
Kemudian apabila baginda meningkat umur delapan tahun datuknya Abdul Muttalib pula meninggal dunia dan di waktu datuknya sakit tenat beliau telah berpesan dan memberi wasiat kepada Abu Talib bapa saudara baginda supaya memelihara baginda maka Abu Talib menerimanya dengan penuh kasih sayang sehingga tempat tidur baginda disediakan di sampingnya dan diberi makanan-makanan yang istimewa dan sebaik-baiknya.
Pada satu ketika sedang Abu Talib mengemaskan kenderaan dan bersiap sedia untuk keluar berniaga di negeri Syam baginda bergantung kepada bapa saudaranya hendak ikut sama dan umur baginda pada ketika itu baru dua belas tahun maka Abu Talib merasa kasihan kepada baginda lalu membawanya bersama dan berjanji tidak akan berpisah buat selamanya. Maka apabila selesai urusan perniagaan di Syam baginda balik semula ke Mekah, selepas beberapa tahun kemudian. Rasulullah SAW keluar pula ke negeri Syam untuk berniaga bagi kali keduanya dan selepas itu Abu Talib berkata kepada baginda "Wahai anak saudaraku. Aku sudah tua dan tidak ada lagi sesuatu barang untuk diperniagakan dan seterusnya memberitahu kepada baginda bahawa di sana ada terdapat Khadijah yang menghantar orang-orang berniaga dengan modalnya dan diberi upah dan sebagainya di mana ramai yang mendapat manfaat daripadanya dan jika engkau pergi berjumpa dengannya nescaya beliau (Khadijah) akan mengutamakan engkau daripada orang lain kerana kejujuran dan kebaikan engkau telah pun ada dalam pengetahuan Khadijah. Maka jawab baginda diharap semoga pihak Khadijah menghantar utusan kepadaku bersabit dengan perkara itu.
Percakapan dan dialog di antara Abu Talib dengan baginda itu sampai kepada pengetahuan Khadijah lalu dihantar utusan kepada baginda dengan tawaran lebih sekali ganda daripada yang telah diberi kepada orang lain. Ini adalah kerana telah terbukti kepada semua pihak tentang kejujuran, kebaikan dan akhlak yang mulia yang telah ditunjukkan oleh baginda semasa bersama-sama bapa saudaranya berniaga di Syam.
Setelah mendapat tawaran itu baginda memberitahu kepada bapa saudaranya. Maka bapa saudaranya berkata "Itu adalah merupakan rezeki kurniaan Allah kepada engkau".
Maka keluarlah baginda bersama-sama Maisarah orang gaji Khadijah yang ditugas khas untuk membuat perhatian yang teliti di atas segala urusan dan pekerjaan baginda SAW serta membuat laporan kepada Khadijah.
Muhammad SAW telah menjalankan urusan perniagaan dengan baik serta dapat membawa balik keuntungan yang sangat banyak dan lantaran itu Maisarah telah melaporkan dan menceritakan kepada Siti Khadijah apa yang dilihat semasa dalam perjalanan dan juga kebijaksanaan serta kejujuran baginda dalam menjalankan urus niaganya.
Maka Siti Khadijah pun tertarik hati kepada Muhammad SAW dan memutuskan untuk mengambil satu langkah dengan menghantar salah seorang temannya yang sangat dipercayai iaitu Nafisah bt Manbah berjumpa Muhammad bagi membayangkan hasrat hatinya serta ingin mengetahui apa pula pandangan dan pendapat Muhammad.
Nafisah : Wahai Muhammad apakah yang menghalang engkau dari berkahwin ?.
Muhammad : Aku tak dapat apa benda pun untuk perbelanjaan kahwin.
Nafisah : Jika itu pendapat jaminan dan ditambah pula dengan kecantikan-kecantikan harta dan kemuliaan apa kata engkau ?
Muhammad : Siapa dia ?
Nafisah : Khadijah.
Muhammad : Macam mana caranya ?
Nafisah : Itu urusanku.
Muhammad : Aku bersetuju.
Tidak syak lagi bahawa Muhammad tidak mengeluarkan kata-katanya yang terakhir itu melainkan setelah baginda juga terasa seperti mana Khadijah tertarik kepadanya dan saling timbang menimbang dan menghormati di antara sama lain.
Betul Siti Khadijah lebih tua dari Muhammad akan tetapi itu bukan menjadi penghalang dan tidak memberi apa-apa erti jika dibandingkan dengan kecantikannya dan lain-lain keistimewaan yang boleh menarik hati baginda kepadanya. Muhammad dan Khadijah telah kemukakan perkara ini kepada bapa saudara masing-masing dan semua pihak bersetuju dan merestuinya. Seterusnya berlangsunglah perkahwinan di antara Muhammad dengan Khadijah dengan dihadiri dan disaksikan oleh pembesar-pembesar Quraisy. Siti Khadijah mengarahkan pelayan-pelayannya supaya memukul gendang dan menari seraya berkata kepada Muhammad supaya menyuruh bapa saudaranya menyembelih unta dan beri makan kepada orang ramai (mengadakan kenduri kahwin) bapa saudara baginda Abu Talib sangatlah gembira dan sukacita dengan perkahwinan itu serta bersyukur kepada Allah yang telah menghilangkan daripadanya perasaan resah dan gelisah selama ini.
Rumah Kediaman yang pertama bagi Muhammad SAW.
Rumah kediaman yang pertama bagi Muhammad SAW ialah rumah Siti Khadijah bt Khuwailid isteri pertama baginda di lorong 'Atarin Mekah berhampiran dengan Masjid Al-Haram yang mengandungi empat bilik :
1.      Satu bilik untuk anak-anak perempuan baginda.
2.      Satu bilik untuk baginda bersama Khadijah.
3.      Satu bilik untuk baginda beribadat.
4.      Satu bilik lagi di sebelah luar untuk tetamu.
Baginda tinggal di rumah tersebut sehinggalah baginda berhijrah ke Madinah dalam keadaan yang tenang dan dapat menumpukan kepada apa yang diminatinya selama ini banyak mengasingkan diri dan berfikir dengan dibantu oleh Khadijah lebih-lebih lagi bila mana baginda merasa gentar dan terkejut apabila menerima wahyu yang pertama dan balik ke rumah dalam keadaan yang terkejut seraya berkata kepada Khadijah sesungguhnya aku rasa bimbang ke atas diriku tetapi Khadijah dapat mententeram dan menenangkan perasaan baginda dengan kata-katanya yang masyhur seperti mana yang terdapat dan termaktub dalam Sohih Bukhari "
والله لا يخزيك الله أبدا اءنك لتصل الرحم وتؤدي الأمانة وتحمل الكل وتقري الضيف وتعين على نوائب الحق
Maksudnya : Demi Allah. Allah tidak akan menghina engkau sama sekali, sesungguhnya engkau akan menghubungi silaturahim , menyempurnakan amanah, memikul beban dan tanggungjawab, memuliakan tamu dan menolong orang yang mempunyai hak terkena zalim.
Kemudian Khadijah terus pergi berjumpa sepupunya Waraqah B Naufal dan menceritakan kepadanya berita suaminya. Maka Waraqah menjawab dengan satu jawapan yang menggembirakan. Iaitu apa yang dilihat oleh Muhammad SAW ialah ketua Malaikat (Jibril) seperti mana yang telah diturunkan ke atas Nabi Isa dan Nabi Musa dan dengan itu rasa sejuklah hati Khadijah dan mulai saat itu beliau (Khadijah) beriman dengan dakwah suaminya dan ianya merupakan orang yang pertama percaya dan beriman dengan Muhammad SAW. Satu ketika Khadijah berharap dan meminta kepada Muhammad supaya memberitahunya apabila dikunjungi Jibril. Maka apabila Muhammad memberitahu kepadanya Siti Khadijah berkata kepada Muhammad : Bangunlah duduk di atas paha kiri aku maka Muhammad lakukan seterusnya berkata Khadijah : Adakah engkau nampak dia lagi ? Jawab Muhammad : Ya lalu Khadijah pun membuang tudung kepalanya dan bertanya lagi kepada Muhammad. Maka jawab Muhammad : Sekarang aku tak nampak dia lagi. Khadijah selanjutnya berkata : Gembiralah sesungguhnya itu adalah Malaikat dan bukan syaitan.
Dengan kejadian itu bertambah kuat keyakinan dan keimanan Siti Khadijah terhadap dakwah dan perjuangan suaminya serta sentiasa berada di sampingnya memberi segala bantuan dan sokongan. Segala susah payah dan pahit getir sama-sama dirasai dan ketika tekanan Quraisy dan kepungannya bertambah kuat sehingga disekat bekalan makanan, air dan sebagainya. Siti Khadijah tidak menghiraukan itu semua malah terus bersabar di samping suaminya, kaum kerabat dan anak-anak perempuannya. Dan oleh kerana kepungan Quraisy itu memakan masa yang panjang menyebabkan Siti Khadijah jatuh sakit dan tidak lama selepas itu Khadijah meninggal dunia pada sepuluh hari bulan Ramadhan tahun yang ke sepuluh dari kebangkitan Rasulullah SAW dalam usia enam puluh lima tahun.
Sudah ditakdirkan Allah selepas kehilangan Khadijah dan di tahun yang sama bapa saudara baginda Abu Talib pula meninggal dunia dan oleh kerana dua kejadian sedih berlaku dalam tahun yang sama ke atas Rasulullah SAW maka tahun itu dikenali dengan tahun sedih ('Am AlAhzan). 
Kecemasan yang telah berlaku di rumah Khadijah
Telah berlaku dalam kehidupan Rasulullah SAW di rumah Khadijah dua kejadian cemas yang hampir serupa :
Yang pertama –kecemasan putus wahyu.
Selepas turunnya wahyu yang pertama firman Allah : 
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ , خَلَقَ اْلإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ , اقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ , الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ , عَلَّمَ اْلإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ .
Yang bermaksud : Bacalah wahai Muhammad dengan nama Tuhanmu yang menciptakan sekalian makhluk. Ia mencipta manusia dari sebuku darah beku. Bacalah dan Tuhanmu yang amat pemurah yang mengajar manusia melalui pena dan tulisan Dia ajarkan manusia akan apa yang tidak diketahuinya. Telah terputus wahyu dan berhenti kunjungan Jibril seketika sehingga dikenali pula dengan zaman putus wahyu. Ada pendapat yang mengatakan bahawa masa putus wahyu itu ialah dua tahun dan setengahnya pula tiga tahun. Tetapi yang sebenarnya tidak memakan masa yang panjang bagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas iaitu paling lama empat puluh hari saja dan pendapat ini ada mempunyai alasan yang teguh dan kuat dan di sebaliknya pula tersembunyi hikmah dan rahsia. Sesungguhnya telah berlaku ke atas Rasulullah SAW satu perasaan yang menakutkan ketika mula-mula didatangi Malaikat dan perasaan itu amat berkesan pada dirinya, maka adalah menjadi hikmah Ilahi membiarkan beberapa ketika berlalu selepas ujian pertama sehingga boleh menghilangkan perasaan cemas dan takut serta menetapkan hatinya semula bagi membolehkan Rasulullah SAW membuat persediaan untuk menerima wahyu dan risalah seterusnya.
روى البخاري أن جابر بن عبد الله الأنصاري رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو يحدث عن فترة الوحي في حديثه :
بينما أنا أمشي إذ سمعت صوتا من السماء فرفعت بصري فإذا الملك الذي جاءني بحراء جالس على كرسي بين السماء والأرض فرعبت منه فرجعت فقلت دثروني دثروني فأنزل الله تعالى :
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ , قُمْ فَأَنذِرْ , وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ , وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ , وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ , وَلاَ تَمْنُن تَسْتَكْثِرُ , وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ . المدثر 7-1
Maksudnya : Telah diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari bahawa Jabir Bin Abdullah Al-Ansari RA berkata sabda Rasulullah SAW sambil menceritakan berkenaan dengan turun wahyu seraya berkata dalam ceritanya sedang aku berjalan-jalan aku telah terdengar suara yang datang dari arah langit maka aku tengok ke atas maka tiba-tiba kelihatan Malaikat yang telah datang kepadaku semasa di gua Hira' dahulu sedang duduk di atas kerusi di antara langit dan bumi maka aku terasa takut lalu aku balik ke rumah sambil berkata selimutkan aku selimutkan aku maka pada ketika itu turunlah firman Allah Taala yang bermaksud : Wahai orang yang berselimut bangunlah serta berilah peringatan dan amaran kepada umat manusia dan akan Tuhammu hendaklah engkau agungkan dan ingatlah kebesaranNya dan pakaianmu hendaklah engkau bersihkan dan segala kejahatan hendaklah engkau jauhi dan janganlah engkau memberi sesuatu dengan tujuan hendak mendapat lebih banyak daripadanya dan bagi menjalankan perintah Tuhanmu hendaklah engkau bersabar terhadap tentangan musuh.
Kemudian selepas kejadian itu wahyu pun terus turun tidak terhenti-henti lagi.
Yang kedua – Kecemasan yang berlaku semasa putus wahyu.
Kcemasan ini berlaku dalam masa yang singkat sahaja tidak lebih daripada tiga hari.
روى في الصحيحين أن رسول الله صلى الله عليه وسلم اشتكى فلم يقم للتهجد ليلتين أو ثلاثا فجاءت امرأة – وهي أخت أبي سفيان – فقالت متهكمة : يا محمد ماأرى شيطانك الا قد تركك لم أره قربك منذليلتين أو ثلاثا فأنزل الله عزوجل :
وَالضُّحَى , وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى , مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى , وَلَلآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ , الأُولَى , وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى , أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى , وَوَجَدَكَ ضَالاًّ فَهَدَى , وَوَجَدَكَ عَائِلاً فَأَغْنَى , فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلاَ تَقْهَرْ ,وَأَمَّا السَّائِلَ فَلاَ تَنْهَرْ , وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ . سورة الضحى 11-1
Ertinya : Bahawa Rasulullah SAW telah demam. Maka baginda tidak bangkit sembahyang sunat tahajud selama dua atau tiga malam maka datanglah seorang perempuan iaitu saudara kepada Abu Sufian sambil berkata sebagai menyindir wahai Muhammad aku tak kelihatan syaitan menghampirimu sejak dua atau tiga malam. Maka turunlah firman Allah taala yang bermaksud :
1.      Demi waktu Dhuha.
2.      Dan malam apabila ia sunyi sepi.
3.      Bahawa Tuhanmu wahai Muhammad tidak meninggalkanmu dan Dia tidak benci kepadamu sebagaimana yang dituduh oleh kaum musyrik.
4.      Dan sesungguhnya kesudahan keadaanmu adalah lebih baik bagimu daripada permulaannya.
5.      Dan sesungguhnya Tuhanmu akan memberi kepadamu kejayaan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat sehingga engkau redha dan berpuashati.
6.      Bukankah Dia mendapati engkau yatim piatu, lalu Dia memberikan perlindungan ?.
7.      Dan mendapati engkau tercari-cari jalan yang benar lalu Dia memberikan pertunjuk dengan wahyu Al-Quran.
8.      Dan didapati engkau miskin, lalu Dia memberikan kekayaan ?.
9.      Oleh itu adapun anak-anak yatim maka janganlah engkau berlaku kasar terhadapnya.
10.  Dan adapun orang-orang yang meminta bantuan maka janganlah engkau tengking herdik.
11.  Dan adapun nikmat Tuhanmu maka hendaklah engkau sebut-sebutkan sebagai menzahirkan kesyukuran.
Surah ini diturunkan untuk menghiburkan hati dan memberi semangat kepada Nabi Muhammad SAW yang sedang berdukacita kerana wahyu telah terputus dalam satu peringkat masa yang singkat – sepertimana yang dijelaskan di atas.
Anak-anak baginda dengan Siti Khadijah
Baginda SAW dikurniakan anak dengan Siti Khadijah seramai enam orang, dua lelaki dan empat perempuan. Kedua-dua anak lelaki itu ialah yang pertama bernama Al-Qasim ana sulung baginda dilahirkan sebelum baginda dibangkit menjadi Rasul dan dengannya baginda SAW dipanggil Abal Qasim dan dapat dipelihara sehingga boleh berjalan tetapi meninggal dunia semasa masih kecil. Anak kedua bernama Abdullah dilahirkan selepas baginda menerima wahyu dan meninggal dunia dalam usia yang masih kecil juga.
Ada pun anak-anak perempuannya ialah seramai empat orang iaitu Zainab, Raqiah, Umi Kalthum, Fatimah RA. Kesemuanya dilahirkan sebelum Nabi dibangkit menjadi Rasul.
1. Zainab
Zainab ialah anak perempuan baginda yang pertama dilahirkan ketika baginda berusia tiga puluh tahun iaitu selepas lima tahun baginda berkahwin dengan Siti Khadijah dan sempat memeluk Agama Islam dan berhijrah ke Madinah selepas peperangan Badar. Dan telah berkahwin dengan Abil 'As sepupu sebelah ibunya.
Islah telah memisahkan di antara Zainab dengan suaminya Abi 'As apabila Zainab memeluk agama Islam dan Abil 'As kekal dengan agama syiriknya tetapi Rasulullah SAW tak berupaya pada peringkat awalnya untuk mengasingkan di antara keduanyan sehinggalah Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah.
Abul 'As B. Ar-Rabi' suami Zainab telah ikut bersama-sama kaum kafir Quraisy dalam peperangan Badar dan telah ditawan bersama-sama tawanan perang yang lain dan dibawa ke Madinah dan apabila ahli-ahli Mekah menghantar utusan untuk menebus tawanan perang masing-masing maka Zainab pun turut menghantar utusan untuk menebus Abul 'As suaminya dengan memberi rantai tengkuknya yang telah diberikan oleh bondanya Siti Khadijah semasa perkahwinan dengan Abi 'As dulu. Apabila Rasulullah SAW melihat rantai itu lalu baginda rasa kasihan yang amat sangat kepada Zainab lalu bersabda kepada para sahabatnya. Jika kamu fikir boleh membebaskan tawanan perang Zainab tanpa bayaran maka hendaklah kamu lakukan. Jawab para sahabat, ya boleh wahai Rasulullah lalu Abil 'As pun dibebaskan dan diberi balik rantai tengkuk Zainab kepadanya. Dan seterusnya baginda memberitahu Abil 'As bahawa pembebasannya itu adalah dengan syarat pihak Abil 'As melepaskan Zainab datang ke Madinah. Syarat ini diterima oleh Abul 'As dimana beliau sebaik-baik saja sampai balik ke Mekah terus menyuruh Zainab bersiap untuk pergi bersama-sama ayahandanya di Madinah dan Zainab pun tidak membuang masa terus bersiap-siap dengan mengemaskan segala barang-barang keperluannya dan keluarlah ianya dari rumah suaminya menuju ke Madinah dengan satu kenderaan yang disediakan kepadanya oleh Kinanah B. Ar-Rabi' iaitu adik beradik suaminya dan ini tidak dipersetujui oleh orang-orang Quraisy lalu dikejar dari belakang dan dilontar dengan lembing dan terkena kenderaan Zainab dan terjatuh Zainab yang sedang hamil ke atas batu pejal sehingga gugur kandungannya. Walau macam mana pun Zainab dapat meneruskan perjalanannya dan mulai dari hari itu kedua-duanya tinggal berasingan. Abul 'As di Mekah manakala Zainab di Madinah sehinggalah Abul 'As memeluk Islam dan datang ke Madinah dan dikahwinkan semula oleh Rasulullah SAW dengan Zainab dalam tahun yang ke tujuh hijrah dan setahun kemudian Zainab pun meninggal dunia kerana kesan dari penyakit guguran yang menimpanya semasa terjatuh dari kenderaannya dalam perjalanan ke Madinah dahulu.
2. Raqiah.
Raqiah dilahirkan semasa baginda berusia tiga puluh tiga tahun iaitu selepas berkahwin dengan Khadijah delapan puluh tahun. Pada mulanya Raqiah dikahwinkan dengan Utbah B. Lahab dan Umi Kalthum berkahwin dengan Utaibah B. Lahab, perkahwinan ini berlaku sebelum Muhammad diutus menjadi Rasul. Maka manakala turun ayat :
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
Surah Al-Lahab ayat 1. Maksudnya : Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan binasalah dia bersama. Ayat ini turun selepas Nabi Muhammad SAW memberi ingatan dan amaran kepada kaum kerabat baginda apabila turun ayat
وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ اْلأَقْرَبِينَ
214. As-Syu'ara' yang bermaksud dan berilah peringatan serta amaran kepada kaum kerabatmu yang dekat yakni hendaklah kamu terlebih dahulu mengajak dan menyeru kaum kerabatmu yang dekat memeluk agama Islam. Abu Lahab pun memerintah kedua-dua anaknya Utbah dan Utaibah seupaya menceraikan kedua-dua anak perempuan Rasulullah Raqiah dan Umi Kalthum. Lalu mereka terus menceraikan kedua-dua isteri mereka dan kedua-dua pasangan tersebut sebenarnya belum lagi bersatu. Kemudian Raqiah telah berkahwin dengan Uthman Ibn 'Affan di Mekah dan berhijrah ke Habsyah dan pada satu ketika putus berita keduanya dari pengetahun Rasulullah SAW sehingga diberitahu kepada baginda oleh seorang perempuan yang datang dari Habsyah bahawa beliau ada melihat kedua-duanya di Habsyah lalu Nabi bersabda "
صحبهما الله أن عثمان أول من هاجر بأهله بعد لوط
Maksudnya : Allah telah menemani kedua-duanya. Sesungguhnya Uthman ialah orang yang pertama berhijrah bersama-sama keluarganya selepas Nabi Luth. Raqiah meninggal dunia di Madinah sewaktu Nabi sedang berperang di Badar.
3. Umi Kalthum
Umi Kalthum dilahirkan lebih kurang setahun selepas Raqiah dan apabila Rasulullah SAW turun dari rumahnya menuju rumah Abu Bakar As-Siddiq untuk menemani baginda ke gua Thur dan seterusnya berhijrah ke Madinah hanya Umi Kalthum dan Fatimah sahaja yang ditinggal di rumah dalam keadaan yang cemas dan gelisah tiada ada yang menjaga keduanya selain Allah. Kemudian tibalah Zaid b. Harithah untuk menemani Umi Kalthum dan Fatimah berhijrah ke Madinah, dan setelah kakaknya yang sangat dikasihi Raqiah meninggal dunia beliau berkahwin dengan Uthman b. Affan dalam tahum yang ke sembilan hijrah.
4. Fatimah Az-Zahra'
Keluarga Rasulullah SAW telah menyambut bayi perempuan (Fatimah) lima tahun sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul iaitu setelah sepuluh tahun baginda berkahwin dengan Siti Khadijah dan Fatimah meripakan anak bongsu perempuan, beliau tinggal tetap di rumah ayahandanya sehinggalah berpindah ke Madinah bersama-sama kakaknya Umi Kalthum dan dikahwinkan dengan Ali b. Abi Tholib dalam tahun yang ketiga hijrah selepas peperangan Uhud dan Fatimah menjadi anak kesayangan baginda dan sekalian keluarganya. Rumah kediaman Fatimah terletak berhampiran dengan rumah baginda Rasulullah dan apabila baginda Rasulullah hendak musafir, rumah Fatimah yang akhir dijenguk oleh baginda dan begitu juga sekembalinya baginda dari musafir rumah Fatimah yang mula-mula dilawatinya selepas sembahyang dua rakaat di Masjid. Kemudia baginda mengunjungi rumah-rumah isterinya selepas itu sabda Nabi SAW " 
فاطمة بضعة مني فمن أغضبها أغضبني
Yang bermaksud : Fatimah adalah sebahagian dariku maka sesiapa yang melakukan perbuatan yang menyebabkan kemarahannya maka sesungguhnya ia melakukan perbuatan yang menyebabkan kemarahanku. 
Keadaan kehidupan Fatimah bersama Ali tidak boleh dianggap sebagai orang yang senang lenang malah boleh dikatakan hampir kepada kesusahan dan miskin. Ada hadis yang diriwayatkan dalam Musnad Al-Imam Ahmad dan Bukhari dan Muslim daripada Ali maksudnya : Bahawa Fatimah pernah mengadu tentang kesusahan buat kerja sendiri dan pernah ke rumah ayahandanya untuk mendapat khadam tetapi tak berhasil lalu ia memberitahu Saidatina Aisyah, maka apabila tiba baginda Rasulullah ke rumahnya Aisyah pun menceritakan tentang kedatangan Fatimah dan tujuannya lalu baginda pun terus pergi ke rumah Fatimah dan pada ketika itu Fatimah dan suaminya Ali mula masuk tidur dan apabila terdengar ketibaan ayahandanya Fatimah terus bangkit lalu baginda berkata tak payahlah duduklah di situ seraya bersabda "
ألا أعلمكما خيرا مما سألتماني , قلنا بلى قال كلمات علمنيهن جبريل . إذا أخذتما مضاجعكم من الليل فكبرا ثلاثا وثلاثين وسبحا ثلاثا وثلاثين واحمدا ثلاثا وثلاثين فهو خير لكما من خادم.
Yang bermaksud : Tidakkah kamu setuju aku ajar kepada kamu satu perkara yang lebih baik daripada apa yang diminta oleh kamu berdua ?
Jawab Fatimah dan Ali : Ya benar. Sabda Nabi ialah beberapa kalimah yang telah diajarkan kepada aku oleh Jibril.
Yang bermaksud : Apabila kamu mula mengambil tempat tidur di waktu malam hendaklah kamu baca takbir (Allahu Akbar) tiga puluh kali dan bertasbih (Subhanallah) tiga puluh kali dan bertahmid (Alhamdulillah) tiga puluh kali maka ianya lebih baik bagi kamu berdua daripada mendapat seorang khadam. Selepas itu kehidupan mereka boleh dikatakan bahagia saling bantu membantu di antara satu sama lain serta dikurniakan Allah anak lelaki dan perempuan iaitu Hasan, Husin, Muhsin, Zainab dan Umi Kalthum. 
Pada permulaannya sewaktu anak sulungnya lahir mereka namakan Harb maka apabila Rasulullah SAW tiba baginda minta hendak tengok bayi yang baru lahir dan bertanya kamu beri nama apa ? Mereka menjawab Harb, sabda Rasulullah SAW (بل هو حسن) yang bermaksud : Bahkan ianya bernama Hasan begitu juga kelahiran Husin dan Muhsin tetapi Muhsin meninggal dunia semasa kecil lagi. Rasulullah memang bermanja-manja dan bermain-main dengan mereka. Pernah dilihat kanak-kanak tersebut memijak-mijak dada baginda dan lagi dilihat pada satu ketika sewaktu Rasulullah sedang sujud dalam sembahyang Hasan dan Husin naik atas bahu baginda maka baginda terus sembahyang dengan berhati-hati serta memanjangkan masa sujud kerana bimbang takut mereka terjatuh, malah pernah juga berlaku sewaktu baginda di atas mimbar maka tiba-tiba Hasan dan Husin muncul di hadapan baginda lalu baginda turun dari mimbar mendukung kedua-duanya seraya berkata :
صدق الله العظيم (إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ)
Surah Al-Taghabun ayat 15. Yang bermaksud : Benar firman Allah yang Maha Besar sesungguhnya harta benda kamu dan anak-anak kamu itu menjadi ujian. Dan apabila saja baginda terdengar cucu-cucunya menangis terus memanggil Fatimah sambil bertanya apakah yang menyebabkan mereka menangis ? Dan sambung lagi sabdanya :"Tidakkah kamu tahu bahawa tangisan mereka itu menyakiti aku". 
Fatimah meninggal dunia di samping Saidina Ali dan anak-anaknya di Madinah selepas enam bulan daripada wafat ayahandanya Rasulullah SAW. 
Masa-masa yang akhir di rumah baginda di Mekah 
Kehilangan Khadijah meninggalkan kesan yang berat dan menyedihkan di dalam jiwa dan perasaan baginda. Maka sebab itu baginda telah merasa dukacita yang amat sangat di dalam hatinya. Keadaan ini mendapat perhatian dari salah seorang Muslimat iaitu Khawlah bt Hakim yang telah datang menemui baginda seraya berkata :
Khawlah : Wahai Rasulullah SAW , adakah tuan hamba tak mahu berkahwin lagi ?
Rasulullah : Dengan siapa ?
Khawlah : Terpulanglah kepada kehendak Rasulullah sama ada anak dara atau janda.
Rasulullah : Siapa dia anak dara dan siapa dia janda ?
Khawlah : Adapun anak dara ialah Aisyah bt Abu bakar manakala janda ialah Saudah bt Zum'ah.
Rasulullah : Pergilah buat tinjauan.
Dalam tinjauan Khawlah beliau mula-mulanya telah menemui Ummu Ruman.
Khawlah : Wahai Ummu Ruman, Allah akan memberi kebaikan dan keberkatan kepada engkau.
Ummu Ruman : Apa dia itu ?
Khawlah : Rasulullah ada menyebut Aisyah.
Ummu Ruman : Aku setuju tetapi tunggu dulu kata Abu Bakar.
Maka apabila perkara itu dikemukakan kepada Abu Bakar beliau berkata apakah boleh baginya sedangkan Aisyah anak saudaranya. Lalu Khawlah pun terangkan hal itu kepada Rasulullah SAW maka sabda Nabi maksudnya : Katakanlah wahai Khawlah kepada Abu Bakar engkau (Abu bakar) saudaraku (Nabi) dan aku saudara engkau di dalam Islam dan anak perempuan engkau boleh berkahwin dengan aku. Sebaik-baik sahaja Khawlah mendengar jawapan dan sabda Nabi itu, beliau terus memberitahu kepada Abu Bakar maka Abu Bakar pun berkata kepada Ummu Ruman bahawa Mut'im bin Adi pernah menyebut Aisyah untuk anak lelakinya dan demi Allah Abu Bakar tidak pernah mungkir janji sama sekali.
Lalu Abu Bakar pun terus pergi berjumpa Mut'im yang kebetulan ada bersama-samanya isterinya bertanya hal budak-budak itu ? Mut'im meminta pendapat isterinya maka isteri Mut'im menjawab, jika dikahwinkan anak kami dengan Aisyah akan terkeluarlah ia dari agamanya dan terpengaruhlah dengan agama engkau wahai Abu Bakar. Maka Abu Bakar hadapkan pertanyaan kepada Mut'im. Apa pendapat dan pandangan engkau ? Mut'im menjawab isteriku telah berkata bagaimana yang kami telah dengar sekejap. Dengan jawapan itu terlepaslah Abu Bakar dari ikatan janji dan seterusnya memberitahu Khawlah supaya menemui Rasulullah SAW untuk memberitahu baginda akan persetujuannya dan bolehlah melamar Aisyah.
Khawlah seterusnya berkata : Sesudah itu aku pergi berjumpa Saudah bt Zum'ah lalu berkata :
Khawlah : Allah akan memberi kebaikan dan berkat ke atas kamu wahai Saudah.
Saudah : Apa dia itu ?
Khawlah : Rasulullah mengutus aku supaya datang meminang engkau untuknya.
Saudah : Aku setuju tetapi kenalah minta kebenaran bapa aku terlebih dahulu.
Lalu Khawlah pun berjumpa bapa Saudah seraya berkata
Khawlah : Selamat pagi wahai Zum'ah (ucap selamat secara orang jahiliah).
Zum'ah : Siapa engkau ?
Khawlah : Saya Khawlah bt Hakim.
Zum'ah : Selamat datang dan apa tujuan kamu datang ?
Khawlah : Muhammad b. Abdullah b. Abdul Muttalib hendak datang meminang Saudah anak perempuan engkau.
Zum'ah : Beliau (Rasulullah) seorang yang mulia tetapi apa kata Saudah ?
Khawlah : Saudah setuju.
Zum'ah : Bolehlah beliau datang.
Maka selepas itu datanglah Rasulullah SAW dan berkahwin dengan Saudah serta hidup bersama sebagai suami isteri, sebulan selepas berkahwin dengan Saudah Rasulullah SAW berkahwin pula dengan Aisyah.
Rumah yang kedua di Madinah.
Apabila Rasulullah SAW sampai di Madinah baginda bawa masuk barang-barang kelengkapan ke rumah Abi Ayub Al-Ansari dan tinggal di situ selama tujuh bulan dan dari situlah baginda mula merancang dan melaksanakan tiga projek :
1. Projek yang pertama membina Masjid.
Rasulullah SAW pada peringkat awalnya sembahyang di mana-mana sahaja apabila masuk waktu-waktunya, maka sebab itu baginda berhasrat untuk membina sebuah masjid jami' bagi kemudahan umat Islam berjemaah bersama-samanya, lalu baginda pun memberitahu kepada masyarakat Bani An-najar. Dengan sabdanya :
يا بني النجار ثامنوني - أي اذكرو إلى ثمنه لأشتريه منكم – بحائطكم أي بستانكم.
Bermaksud : Wahai kaum Bani An-najar sebutlah harga kebun kamu supaya dapat aku membelinya.
Permintaan Rasulullah itu disambut baik oleh kaum Bani An-Najar dengan memberitahu baginda bahawa mereka bersedia memberi percuma kepada Rasulullah. Tetapi Rasulullah enggan menerima tapak masjid secara percuma sehingga baginda membelinya. Kemudian barulah dibina di atasnya masjid.
Dan ditapak itu ada pokok-pokok tamar, rumah-rumah runtuh dan perkuburan orang-orang musyrikin. Maka baginda mengerahkan supaya digali dan dipindah kubur membersih dan merata tanah serta menebang pokok-pokok tamar dan dijadikan tiang masjid. Kemudian baginda mengerahkan pula supaya mengumpul tanah-tanah liat. Dan seterusnya masjid pun didirikan dengan batang tamar sebagai tiang. Tanah liat dijadikan dinding dan daun tamar dijadikan atap. Pembinaan itu dijalankan secara gotong royong oleh semua umat Islam yang berada di Madinah. Diriwayatkan oleh Bukhari dari Saidatina Aisyah RA. Maksudnya : Bahawa baginda sendiri mengangkat tanah liat (batu bata) di peringkat permulaannya (meletak batu asas) sebagai menggalak dan mendorong mereka membinanya. Seorang sahabat bernama Ammar bin Yasir membawa dua keping bata. Satu untuknya dan satu lagi untuk Rasulullah lalu Nabi bersabda selepas menggosok belakangnya dan menyapu debu di tubuhnya :
للناس أجر ولك أجران
Yang bermaksud : Bagi orang yang lain mendapat satu pahala dan bagi engkau mendapat dua pahala.
2. Projek yang kedua membina rumah
Sesudah selesai membina masjid baginda mula membina dua buah rumah berhampiran dengan masjid dan bahan binaannya sama seperti mana bahan binaan masjid iaitu tanah liat, batang tamar dan daun-daunnya. Rumah pertama untuk isterisnya Aisyah, rumah kedua untuk isterinya Saudah bt Zum'ah kemudian baginda menambah bilik-bilik bilamana keadaan memerlukan.
Apabila rumah siap dibina baginda pun berpindah dari rumah Abi Ayub Al-Ansari yang ditumpanginya itu ke rumah baginda yang baru dibinanya.
3. Projek yang ketiga membawa anak-anak dan isteri-isterinya dari Mekah.
Setelah menetap di Madinah baginda telah menghantar Zaid bin Harithah dan Aba Rafi' ke Mekah manakala Abu Bakar pula telah mengutus Abdullah bin Arit supaya membawa anak-anaknya dan isteri masing-masing dari Mekah ke Madinah.
Maka Zaid bin Harithah dan Abu Rafi' telah membawa bersama-samanya Fatimah, Umi Kalthum, Saudah bt Zum'ah, Usamah bin Zaid dan Ummu Amin. Manakala Abdullah bin Arit pula telah membawa keluar bersama-samanya Ummu Ruman dan ibu kepada Abu Bakar serta Aisyah dan saudaranya Asma' dan dengan ketibaan mereka rumah Madinah pun telah mula didiami secara berkeluarga di mana Saudah bt Zum'ah sebagai suri rumah. Kemudian disusuli pula oleh Siti Aisyah dan seterusnya diikuti oleh isteri-isteri yang lain (sembilan orang).
Di rumah yang sangat sederhana inilah baginda menginap dan dari sinilah Rasulullah SAW menyampaikan risalah Allah, Menunaikan segala titah perintah-Nya. Berjihad dan berjuang di jalan yang lurus dan benar demi kebaikan kemanusiaan tanpa jemu dan takut. Dari situlah juga terpancarnya iman dan tersebarnya Islam ke dalam jiwa yang bersih dan hati yang tenang.
Dalam tahun yang ketujuh hijrah raja Muqaiqis telah menghadiahkan kepada Rasulullah SAW seorang perempuan bernama Mariah Al-Qibtiah dan tinggal di 'Aliah (kampung di pinggir Madinah) yang dikenali sekarang dengan nama Masyrabah Ummu Ibrahim dalam sebuah rumah dalam kebun kurma. Maka dalam tahun kedelapan hijrah Mariah Al-Qibtiah ini telah melahirkan anak Rasulullah bernama Ibrahim tetapi umurnya pendek meninggal dunia dalam tahun ke sepuluh hijrah.
Kehidupan Rasulullah secara berkeluarga bolehlah dibahagikan kepada empat peringkat:
1.      Peringkat pertama : Kehidupan Rasulullah semasa remaja sebagai seorang teruna sehingga sampai umur dua puluh lima tahun.
2.      Peringkat kedua : Baginda hanya bersama seorang isteri sejak dari umur dua puluh lima tahun sehingga kepada umur lima puluh tiga tahun.
3.      Peringkat ketiga : Bersama-sama beberapa orang isteri di antara umur lima puluh lima hingga enam puluh tahun.
4.      Peringkat keempat : Tidak lagi berkahwin lain bermula dari umur enam puluh sehingga baginda wafat dalam usia enam puluh tiga tahun.
Perkahwinan di peringkat ketiga
Peringkat yang ketiga bermula dari tahun yang kedua hijrah di mana banyak berlaku peperangan dengan kaum kafir Quraisy dan lain-lain kabilah Arab. Maka ramailah dari golongan lelaki terkorban (Mati Syahid) dan di masa inilah Rasulullah telah berkahwin beberapa kali yang mana jika dipandang dan ditilik secara sepintas lalu agak ganjil juga, tetapi bagi mereka yang memahami keadaan yang sebenar berlaku pada masa itu perkara seperti itu menjadi kebiasaan saja dan tidak ada apa bangkangan dan bantahan. Lebih-lebih lagi kepada mereka yang mengetahui bahawa apa yang mendorong kepada Rasulullah melakukan demikian adalah semata-mata kerana kasihan belas dan timbang rasa dan bukan kerana hendak bersedap-sedap dan berseronok-seronok. Apa lagi masa itu merupakan semangat hidup atau mati bagi perjuangan Islam kerana Madinah menjadi sasaran musuh dari segenap penjuru.
Cuba kita tinjau sepintas lalu dari segi sejarah dan siasah yang menyebabkan baginda berkahwin setiap satu dari isteri-isterinya. Setiap isteri ada sebab-sebab yang khusus baginya di samping sebab-sebab lain secara amnya.
Di antara sebab-sebab dan hikmah secara amnya baginda berkahwin lebih dari satu selepas hijrah dalam usia yang sudah lanjut di samping tanggungjawab yang b erat menyempurnakan risalah Allah dan menghadapi tentangan musuh dan tidak berkahwin sebelum semasa muda remaja dan dalam keadaan yang senang. Adalah semata-mata untuk mendidik ummah serta menunjuk contoh teladan yang baik dalam mempergauli perempuan dengan penuh keadilan dan bijaksana di samping dapat mengeluarkan mahaguru-mahaguru perempuan untuk mengajar golongan wanita hukum-hukum syarak yang khusus untuk wanita yang mana baginda sendiri malu untuk menyebutnya di hadapan wanita dalam sesetengah perkara yang betul-betul khusus bagi wanita begitu juga kebanyakan wanita malu untuk bertanya baginda dalam perkara-perkara tersebut seperti hukum-hukum mandi wajib, menyuci dan sebagainya.
عن عائشة رضي الله عنها أن امرأة من الأنصار سألت النبي صلى الله عليه وسلم عن غسلها من المحيض فأمرها كيف تغتسل ، ثم قال "خذي فرصة ممكسة فتطهري بها ، قالت : كيف أتطهر بها ؟ قال : تطهري بها ، قال سبحان الله تطهري قالت عائشة فاجتذبتها إلي فقلت تتبعي بها أثر الدم .
Maksudnya : Dari Saidatina Aisyah R.A bahawa seseorang perempuan dari kalangan Ansar bertanya Rasulullah SAW berhubung dengan cara hendak mandi untuk menyuci dari darah haid maka Rasulullah SAW mengajarnya bagaimana cara mandi. Kemudian Rasulullah SAW bersabda : Ambillah sedikit kapas yang disapu dengan sedikit minyak atar maka bersucilah dengannya. Bertanya lagi perempuan itu, bagaimana ? Sabda Rasulullah Subhanallah bersucilah lalu aku (Saidatina Aisyah) menarik perempuan itu dekatku serta memberitahu kepadanya bahawa kapas itu dimasukkan ke dalam saluran farajnya untuk mengetahui apakah masih ada lagi kesan darahnya.
Sudah menjadi kebiasaan bagi wanita-wanita Islam bertanya isteri-isteri Rasulullah SAW segala masalah dan kemusykilan mereka dan telah menjadi tempat rujukan dan fatwa kalangan wanita selepas wafatnya Rasulullah. Malah lebih dari itu golongan lelaki juga merujuk kepada mereka dalam kebanyakan hukum-hukum agama terutamanya yang berkaitan dengan hal-hal kekeluargaan.
Ringkasnya kesemua isteri Rasulullah setelah wafatnya baginda menjadi guru dan mufti kepada perempuan-perempuan dari umatnya malah bagi lelaki dalam perkara-perkara yang tidak dapat diketahui selain dari mereka berhubung dengan hukum-hukum syarak. Hukum-hukum kekeluargaan dan perkara-perkara yang berkaitan dengan kenabian dan merekalah sebagai contoh dan ikutan yang baik dalam kerja-kerja kebajikan dan sebagainya.
Sebab-sebab yang khusus bagi setiap isteri selain dari Khadijah
1. Saudah Bt. Zam’ah R.A.
Di antara hikmah Rasulullah SAW memilih Saudah Bt Zam’ah menjadi isterinya ialah kerana beliau dari kalangan mukminat yang berhijrah meninggalkan keluarganya dan jika beliau kembali kepada keluarganya akan diseksa dan dipaksa keluar dari Islam maka Rasulullah mengambilnya bagi menjamin kedudukannya. Di samping itu dengan perkahwinan itu juga akan mengeratkan perhubungan dengan golongan Bani Abd Syams dan sebagai penghormatan kepada golongan Bani An-Najjar kerana ibunya As-Syumus Bt. Qais B. Zaid Al-Ansari itu dari keturunan Bani ‘Adi B. An-Najjar.
2. ‘Aisyah Bt. Abu Bakar As-Siddiq R.A
Sesungguhnya perkahwinan Rasulullah dengan Saidatina Aisyah R.A merupakan satu penghormatan yang paling istimewa untuk seorang sahabat baginda yang utama iaitu Abu Bakar As-Siddiq R.A dan sebagai tanda kasih mesra di antara keduanya yang telah terjalin begitu lama sejak sebelum Islam lagi dan ianya juga merupakan sebesar-besar pemberian dan sebaik-baik jalan bagi perkembangan risalahnya. 
3. Hafsah Bt. Umar B. Al-Khattab R.A
Hafsah sebelumnya menjadi isteri kepada Hasan Bin Hirafah yang ikut sama dalam peperangan Badar dan meninggal dunia di Madinah selepas peperangan tersebut. 
Memandang kepada Hafsah sebagai anak perempuan kepada seorang sahabat dan menteri baginda yang kedua maka baginda pun ingin menyamai Saidina Umar dengan Saidina Abu Bakar dari segi penghormatan berbesan dan tidak ada suatu yang boleh diberi balasan dalam masa hidup ini lebih baik dan tinggi dari berbesan. Maka lantaran itu baginda mengahwini Hafsah dan dengan demikian gembiralah hati Saidina Umar B. Al-Khattab R.A. 
4. Zainab Bt. Jahsy Al-Asadiah R.A
Sebagai menyahut perintah Allah Rasulullah telah mengahwinkan Zainab Bt. Jahsy dengan Zaid B. Harithah yang telah dimerdekan oleh baginda dan dijadikan anak angkatnya. Kemudian baginda dikahwinkan oleh Allah Taala dengan Zainab selepas diceraikan oleh Zaid kerana suatu hikmah yang mengatasi segala hikmah lain dalam perkahwinan baginda dengan isteri-isteri yang lain iaitu menghapuskan kepercayaan karut jahiliah yang masih berjalan sehingga dewasa itu. Bahawa anak angkat sama seperti anak sendiri diberi segala hak anak hatta harta pusaka dan sebagainya. Dan perkahwinan itu berlaku di tahun yang ketiga dan ada yang mengatakan di tahun yang kelima selepas hijrah. 
Apabila Allah menghendaki menghapuskan kepercayaan dan segala hukum karut jahiliah itu lalu Allah memerintahkan Rasulnya supaya mengahwinkan Zainab dengan Zaid dan Allah Taala memang mengetahui bahawa kedua-duanya (Zainab dan Zaid) tidak akan kekal lama. Rasulullah telah pergi menemui Zainab dan berkata : Sesungguhnya aku ingin kahwinkan engkau dengan Zaid B. Harithah dan aku telah berkenan Zaid untukmu. Maka jawab Zainab dengan berkata : Wahai Rasulullah aku tak setuju Zaid menjadi suami aku. Dan aku ini sepupu engkau dan aku tidak akan menerimanya. Maka berikutan dari itu turunlah ayat berikut : 
وما كان لمؤمن ولا مؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم ومن يعص الله ورسوله فقد ضل ضلالا مبينا . الأحزاب أية 36 .
Yang bermaksud : Dan tidaklah harus bagi orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan keputusan bagi sesuatu perkara membuat pilihan sendiri mengenai urusan mereka. Dan sesiapa yang tidak taat kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah sesat dengan kesesatan yang jelas nyata. 
Setelah itu Zainab pun menyatakan persetujuan lalu berkahwin dengan Zaid. Semasa mereka berdua hidup sebagai suami isteri, Zainab selalu mengeluarkan kata-kata kasar kepada Zaid dan membesar-besarkan dirinya, lalu Zaid pun pergi mengadu kepada Rasulullah dan meminta kebenaran dari Rasulullah untuk bercerai dengan Zainab maka jawab Rasulullah “امسك عليك زوجك واتق الله” yang bermaksudnya : Jangan cerai isterimu itu dan bertakwalah kepada Allah. 
Rasulullah memang mengetahui satu ketika nanti akan berlaku juga perceraian di antara Zaid dengan Zainab dan Allah akan mengharapkan baginda berkahwin dengan Zainab sesudah bercerai nanti sebagai menghapuskan kepercayaan karut jahiliah tentang bekas isteri anaknya sendiri. Tetapi Rasulullah menyembunyikan perkara itu dan tidak menerangkan kepada Zaid dan kepada sesiapa pun kerana dibimbang orang akan bercakap lebih-lebih lagi golongan musyrikin. Bahawa Muhammad berkahwin dengan isteri anaknya lalu turun Firman Allah : 
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَ يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولاً . الأحزاب اية 37
Yang bermaksud : Dan ingatlah wahai Muhammad ketika engkau berkata kepada orang yang telah dikurniakan oleh Allah dengan nikmat Islam dan yang engkau juga berbuat baik kepadanya dengan memberi kemerdekaan. Jangan ceraikan isterimu itu dan bertakwalah kepada Allah sambil engkau menyembunyikan dalam hatimu perkara yang Allah akan menyatakan dan engkau pula takut kepada cacian manusia padahal Allah jualah yang berhak engkau takuti melanggar perintahnya. Kemudian setelah Zaid selesai habis kemahuannya terhadap isterinya dengan menceraikannya, Kami kahwinkan engkau dengannya supaya tidak ada keberatan atas orang-orang yang beriman untuk berkahwin dengan isteri-isteri anak angkat mereka apabila anak-anak angkat itu telah selesai habis kemahuannya terhadap isterinya dan sememangnya perkara yang dikehendaki Allah itu tetap berlaku. 
Dan dalam firman Allah “زوجنكها” yang bermaksud : Kami kahwinkan engkau dengannya, itu menunjukkan bahawa perkahwinan tersebut adalah dari Allah SWT sebagaimana yang disebutkan tentang hikmatnya dan bukan dengan kehendak dan kecenderungan Nabi SAW dan tidak berlangsung akad nikah seperti mana yang telah berlaku dengan isteri-isteri yang lain kerana perkahwinan Allah kepada Nabi lebih kuat dan mengatasi segala akad yang lain. 
5. Hindun Ummu Salamah Al-Makhzumiah R.A 
Bapanya dari keturunan Arab yang baik dan terkenal. Sebelumnya Hindun telah berkahwin dengan sepupunya Abdullah B. Al-Asad Al-Makhzumi dan ianya dari kumpulan orang-orangorang yang mula-mula memeluk agama Islam di mana beliau juga sepupu sebelah ibu dengan Rasulullah di samping menjadi saudara susu dengan baginda dan lagi beliau orang yang mula-mula berhijrah ke Habsyah bersama-sama dengan isterinya Hindun kemudian mereka balik ke Mekah dan berhijrah ke Madinah setelah banyak halangan dan dugaan ditempuhi. Abdullah suami Hindun meninggal dunia di Madinah kerana luka parah dalam peperangan Uhud dan Hindun sangat sayang kepada suaminya. Pada mulanya Abu Bakar dan Umar telah meminang belaiau tetapi beliau menolaknya. Lalu Nabi masuk meminangnya untuk baginda sendiri dan pada mulanya beliau menolak pinangan Rasulullah dengan alasan beliau sudah tua dan ramai anak yatim. Maka Rasulullah menjawab bahawa baginda lebih tua daripadanya dan anak-anak yatim itu terserahlah kepada Allah dan rasul-Nya. Lalu Hindun pun menyatakan persetujuannya dan berkahwin dengan Rasulullah SAW.
6. Juwairiah Bt. Al-Harith R.A
Juwairiah adalah salah seorang dari tawanan perang Bani Al-Mustaliq dan telah dapat kepada salah seorang Ansar maka Juwairiah hendak menebus dirinya dari tuannya lalu diletakkan harga yang sangat mahal memandang kepada bapanya orang besar dan ketua Kaum Bani Al-Mustaliq serta mampu membayarnya. Tetapi Juwairiah bimbang dan takut dari kesan dan implikasi harga yang keterlaluan itu. Lalu pergi mengadu kepada Rasulullah dan pada ketika itu baginda berada di rumah Siti Aisyah dan berkata kepada Rasulullah : Saya Juwairiah Bt. Al-Harith Abi Dirar ketua kaumnya dan aku telah ditimpa kemalangan di mana engkau lebih mengetahuinya. Sesungguhnya aku telah jatuh ke tangan seorang Ansar maka tak dapat tidak aku mesti menebus diriku. Sebab itu aku datang meminta pertolongan engkau. Maka sabda adakah engkau berkehendak yang lebih baik dari itu ? Berkata Juwairiah apa dia ? Sabda Nabi aku tebus engkau dan aku berkahwin dengan engkau. Tawaran ini diterima oleh Juwairiah. Maka apabila berita perkahwinan Rasulullah SAW dengan Juwairiah tersebar, golongan Ansar telah membebas tawanan perang dari Kaum Ban iAl-Mustaliq sebagai menghormati besan Rasulullah. Berikutan dari perkahwinan ini Rasulullah telah membina rumah yang khusus bagi Juwairiah berdekatan dengan rumah-rumah isterinya yang lain berhampiran dengan masjid.
7. Sofiah Bt Hayyi B. Akhtob Al-Israiliah.
Dalam tahun yang keenam hijrah Rasulullah SAW telah berkahwin dengan Sofiah dari keturunan Nabi Allah Harun dan ianya dari golongan Bani Al-Nadhir dan telah ditawan selepas kematian suaminya dalam peperangan Khaibar.
Para sahabat telah memberitahu Rasulullah bahawa Sofiah tak sesuai bagi orang lain selain daripada baginda sendiri. Maka Rasulullah bersetuju dengan pendapat itu serta tidak mahu membiarkan Sofiah hidup dalam penderitaan dan dengan itu juga dapat membuat perhubungan silaturahim dengan kaum Bani Israel mudah-mudahan dapat meringankan sedikit sebanyak permusuhan mereka terhadap Rasulullah.
Imam Ahmad telah meriwayatkan bahawa baginda telah memberi kepada Sofiah pilihan selepas dibebaskan dari belenggu kehambaan hendak menjadi isterinya atau balik kepada kaum keluarganya, maka Sofiah memilih untuk menjadi isteri Rasulullah SAW.
8. Ummu Habibah Bt. Abi Sufian Al-Umawiyah R.A
Perkahwinan Rasulullah dengan Ummul Mukminin Habibah Bt Abi Sufian berlangsung dalam tahun ketujuh hijrah dan namanya yang sebenar ialah Ramlah. Sebelumnya Ramlah menjadi Isteri kepada Abdullah B. Jahsy dan telah berhijrah buat kali kedua bersama Ramlah ke Habsyah. Kemudian suaminya Abdullah masuk Kristian dan keluar dari agama Islam (murtad) dan mati di Habsyah manakala Ummu Habibah tetap tidak berganjak dari agama Islam. Maka Rasulullah telah menghantar Amru dan Umaiyyah A-Dhomiri kepada An-Najasyi untuk meminang Sofiah dan berkahwin dengan baginda secara wakil lalu An-Najasyi mengutus seorang gundik bernama Abrahah untuk memberitahu Ummu Habibah lamaran baginda itu itu dengan katanya (Abrahah) :
Sesungguhnya Raja telah bertitah bahawa Rasulullah memberi wakil kepadanya untuk mengahwinkan engkau dengan baginda maka hendaklah engkau pula memberi wakil kepada sesiapa dalam urusan perkahwinan engkau ini. Lalu Ummu Habibah bersetuju dan memberi wakil kepada Khalid B. Said B. Al-As B. Umayyah B. Abd Syams Ibn Abd Manaf dan seterusnya berlangsunglah perkahwinan baginda dengan Ummu Habibah dengan mas kahwin sebanyak empat ratus dinar mas di mana An-Najasyi telah membayarnya kepada Khalid dan setelah selesai akad nikah mereka pun mahu meninggalkan majlis lalu An-Najasyi bertitah : Tunggu dan duduk dulu kerana mengikut Sunnah Nabi-nabi apabila berlangsungnya perkahwinan mesti diadakan jamuan maka mereka pun dijemput ke satu majlis jamuan sempena dengan perkahwinan tersebut dan apabila selesai barulah mereka bersurai.
Ummu Habibah menyambung cerita, apabila mas kahwin diberi kepadanya lalu ia memberi kepada Abrahah lima puluh dinar tetapi Abrahah menolaknya. Kemudian pada keesokan hari Abrahah telah memberinya hadiah berupa minyak atar, kayu gaharu dan barang-barang makanan yang banyak maka aku bawa balik bersama-sama ku mengadap Rasulullah SAW. Dan dengan perkahwinan Rasulullah SAW dengan Ummu Habibah itu boleh meredakan ketegangan baginda dengan musuh ketatnya Abi Sufian di samping tidak membiarkan Ummu Habibah sebagai seorang janda yang dihina di negeri asing setelah suaminya masuk Kristian.
9. Maimun Bt. Al-Harith Al-Hilaliah R.A
Di akhir tahun yang ketujuh hijrah Rasulullah telah berkahwin dengan Maimun Bt. Al-Harith dan namanya yang sebenar ialah Barrah tetapi dipanggil Maimunah. Saidatina Aisyah menyatakan bahawa Maimunah adalah yang paling takwa kepada Allah dari kalangan kami dan dialah yang menjadi orang perantaraan dalam hubungan silaturahim di antara kami sekalian dan orang yang pertama mendorong kepada perkahwinan ini ialah bapa saudara baginda Al-Abbas dan jika tidak ada apa-apa kebaikan dan muslahah sudah tentu bapa saudara baginda Al-Abbas tidak mengambil berat dan tidak mengesyorkan kepada baginda untuk berkahwin dengan Maimunah. Kesimpulannya : Bahawa baginda Rasulullah SAW mementing dan mengambil kira kemuslihatan dalam memilih setiap isterinya baik dari segi perundangan. Timbang rasa dan jaminan bagi janda-janda yang suami mereka gugur syahid dalam peperangan dan anak-anak yatim.
Berapa banyak pembesar-pembesar kabila tertarik kepada Rasulullah melalui perkahwinan di samping memberi pengajaran kepada pengikut-pengikutnya bagaimana cara menghormati perempuan serta berlaku adil terhadap mereka dan menetapkan hukum kekeluargaan dan sebagainya.
Jika sekiranya baginda hendak bersuka ria dan berseronok dengan cara berpoligami sudah tentu baginda akan memilih anak-anak dara yang cantik-cantik dan tidak mengambil perempuan-perempuan janda yang mempunyai anak dan sebagainya.
Berpoligami pada masa itu merupakan satu perkara yang tak dapat dielakkan malah ianya termasuk dalam perkara darurat disebabkan banyak lelaki gugur di medan perang dan perempuan-perempuan yang ditinggalkannya perlu mendapat perhatian dan jaminan hidup kerana sebilangan besar daripada keluarganya adalah dari golongan musyrikin.
Perkahwinan seperti ini adalah semata-mata untuk kebaikan dan kepentingan perempuan dan bukan untuk lelaki.
Polisi baginda dalam rumah tangganya.
Rasulullah SAW merupakan contoh utama dan ikutan yang paling baik dalam pergaulan dengan isteri-isterinya. Baginda bergaul dengan isteri-isterinya dengan cara yang baik, lemah lembut dan penuh rasa kasih sayang dan tanggungjawab serta berlaku adil dalam memberi nafkah, giliran dan sebagainya. Baginda sentiasa melawat mereka waktu pagi untuk memberi nasihat dan pengajaran manakala di sebelah petang pula untuk mengambil hati, menunjukkan kasih sayang dan bermu’asyarah dengan baik dan pihak isteri-isteri baginda pula mereka berkumpul dengan baginda di rumah masing-masing. Baginda menjalankan sendiri tugas dan kewajipan rumah tangga dan menyempurnakan segala keperluan dengan tangan baginda sendiri. Berkata Saidatina Aisyah R.A bahawa Rasulullah SAW tak pernah memukul isterinya dan ditanya lagi apakah baginda lakukan semasa bersama-sama ahlinya di rumah kediamannya ? Jawab Saidatina Aisyah : Apabila masuk waktu sembahyang baginda berjemaah bersama dan baginda pernah menjahit sendiri kainnya, menampal kasutnya, menampung baldinya, memerah susu kambingnya dan berkhidmat untuk dirinya sendiri.
Demikianlah kehidupan Rasulullah SAW di dalam rumah kediamannya dalam rupa bentuk dan gambaran yang memancarkan cahaya yang sungguh terang dan jelas bagi dicontohi oleh umat manusia seluruhnya. Kehidupan yang tenang, sederhana dan penuh dengan budi pekerti dan adab sopan yang tinggi dan sebaik-baiknya.
اللهم صل على محمد النبي الأمي وأزواجه امهات المؤمنين وذريته وأهل بيته كما صليت على على إبراهيم وعلى أل إبراهيم إنك حميد مجيد.
وبالله التوفيق والسلام.