Tuesday, March 12, 2013


PENYEBAB HANCURNYA AGAMA


آفَةُ الدِّيْنِ ثَلاَثَةٌ: فَقِيْهٌ فَاجِرٌ وَإِمَامٌ جَائِرٌ وَمُجْتَهِدٌ جَاهِلٌ (رواه الديلمي في "مسند الفردوس)
Hancurnya agama dikarenakan tiga hal : ulama yang berbuat maksiat, pemimpin yang sewenang-wenang, dan mujtahid yang bodoh (HR. Ad-Dailami di dalam Musnad al-Firdaus)


Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ulama adalah pewaris sah Nabi Muhammad S.a.w. Namun, Nabi adalah manusia biasa, yang terikat oleh ruang dan waktu, sehingga secara fisik Rasulullah S.a.w tidak mungkin akan hidup selamanya. Maka, misi dan risalah kenabian menjadi tanggungjawab para ulama untuk menyampaikannya kepada masyarakat sepeninggal Beliau. Sebab, pasca Beliau, ulama dipandang sebagai orang yang paling tahu tentang agama. Maka secara otomatis ulama kemudian dinobatkan sebagai panutan bagi masyarakat dalam keberagamaan.

Sebetulnya, secara kebahasaan “ulama” berarti orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan (“ulama” adalah bentuk jamak (plural) dari “alim” (tunggal)), terlepas apakah ilmu yang dimilikinya merupakan ilmu-ilmu tentang keagamaan maupun ilmu pengetahuan secara umum. Artinya, secara harfiah seorang insinyur juga bisa disebut sebagai “alim”, demikian pula seorang dokter, ekonom dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya, budaya Islam saat ini mengenal istilah “ulama” hanya digunakan untuk orang yang ahli dalam ilmu agama. Maka dari itu, bisa dipahami apabila kemudian terjadi pergeseran makna bahwa ulama lalu diidentikkan dengan sebuatan “kyai”, karena ia adalah orang yang paham tentang agama.

Dalam Islam, adanya para ulama terjadi secara informal, yaitu bahwa seseorang disebut “ulama” setelah adanya pengakuan dari masyarakat. Tidak seperti dalam tradisi Kristen dimana para pendetanya dinobatkan melalui sebuah pelantikan atau pentahbisan. Meskipun menjadi rujukan dalam hal keberagamaan, ulama tidak berarti memiliki kewenangan atas segalanya dalam keberagamaan: fatwa-fatwa para ulama tidaklah mengikat mutlak, dan dapat dipertanyakan tingkat keabsahannya dengan mengemukakan sumber atau dasar-dasar ilmu lain yang lebih absah, kuat dan lebih tepat.

Dengan kata lain, fatwa ulama hanya bisa dibantah dengan fatwa lain melalui argumen-argumen kuat yang terbuka untuk diperdebatkan. Artinya, fatwa seorang ulama adalah sebanding dengan tingkat keilmuan yang dimilikinya. Bagi orang awam, tidak ada pilihan kecuali mengikuti salah satu fatwa ulama diantara fatwa-fatwa yang ada, atau mengikuti semuanya. Yang tidak boleh bagi orang awam adalah mengabaikan fatwa para ulama, lalu membuat fatwa sendiri baik bagi dirinya maupun orang lain. Sebab, orang awam dianggap tidak cukup kuat untuk mendasarkan fatwanya pada sumber-sumber yang absah dan otentik, karena tidak cukup ilmu. Dengan demikian, yang berhak mengeluarkan fatwa dalam hal agama adalah ulama, yaitu ulama yang benar-benar alim dan mumpuni secara ilmu agama, sebab mereka adalah para mujtahid. Kalau ada orang awam yang berfatwa, itu namanya mujtahid bodoh, dan itulah yang menyebabkan kehancuran agama sebagaimana disinyalir dalam hadits di atas. Sekarang ini banyak orang awam berlagak jadi ulama, lalu memberi fatwa, dan bahayanya kalau fatwa yang tidak karu-karuan itu sampai diikuti orang maka akan menjerumuskan. Di zaman ini membedakan mana yang ulama “asli” dengan ulama “karbitan” rasa-rasanya susah, karena makin banyak orang-orang bodoh yang tiba-tiba menjadi mujtahid. Akibat pengaruh media massa, sekarang menjadi sulit membedakan antara ulama sejati dengan paranormal: ulama ya ulama, paranormal ya paranormal ! Ulama adalah orang yang menuntun dirinya sendiri dan orang lain menuju kebaikan sesuai dengan tuntunan agama, sedangkan paranormal adalah tukang ramal yang sok tahu tentang masa depan yang belum terjadi.

Kita sama sekali tidak disuruh bertanya kepada paranormal, apapun jenisnya! Karena Al-Qur’an hanya memerintahkan kita untuk bertanya hanya kepada ulama apa-apa yang belum kita diketahui. “Fas’alū ahlad dzikri in kuntum lā ta’lamūn: Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (Lihat, Q, s. an-Nahl/16:43). Dalam ayat tersebut, orang yang mempunyai pengetahuan disebutkan sebagai “ahli dzikir”. Seorang ulama adalah sosok seorang ahli dzikir, baik dzikir bil qalbi (dengan hati) maupun dzikir bil ‘aqli (dengan nalar). Paranormal sama sekali bukan kelompok ahli dzikir !

Oleh karenanya, ulama dipandang sebagai orang yang tepat untuk mengawal cara keberagamaan orang-orang awam. Maka tepat sekali ungkapan hadits Nabi yang berbunyi “al-ulamā’ waratsat al-anbiyā’”: ulama adalah pewaris para nabi. Mengingat kedudukannya sebagai pewaris para nabi, maka Islam menganjurkan agar masyarakat memandang penuh hormat kepada para ulama. Sebab, Al-Qur’an mensinyalir bahwa kalangan ulama adalah kelompok orang yang paling mampu bertaqwa kepada Allah S.w.t.

…Sesungguhnya orang yang paling takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama (Lihat, Q, s. Fathir/ 35:28).

Justru di situlah letak masalahnya. Umat Islam sekarang ini sering mengalami kebingungan yang luar biasa, karena dalam realita mereka sering melihat para ulama tidak seperti yang digambarkan oleh Al-Qur’an. Sebagai orang yang paham betul tentang agama dan menjadi panutan masyarakat, ulama tidak sepantasnya melakukan hal-hal yang justru bertentangan dengan norma-norma agama.

Misalnya, seorang ulama tidak boleh bermain perempuan, karena selain ia mengetahui hukum-hukumnya di dalam agama, bisa-bisa kelakuan ulama yang suka main perempuan akan ditiru oleh para pengikutnya. Justru ulama harus menjadi teladan dalam berumah tangga, dan menjadi panutan bagi keluarga sakinah. Ulama yang benar-benar ulama adalah yang rumah tangganya damai, tentram dan sejahtera: istrinya solehah dan anak-anaknya merupakan contoh bagi mereka yang ingin berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tuanya.

Ulama juga tidak boleh korupsi, apalagi berbohong kepada masyarakat, karena nanti bisa menjadi pembenaran bagi orang awam untuk melakukan tindakan serupa. Jangan sampai para koruptor di negeri ini mengeluarkan kata-kata “pembelaan” atas tindakannya: “ulama yang tahu agama saja bisa korupsi, apalagi kita yang awam”. Ada yang pernah bilang bahwa “apabila orang awam mencuri ayam itu hal biasa, tetapi kalau ada ulama jadi koruptor darimana logikanya?”

Seorang ulama juga tidak sepantasnya menjelek-jelekkan orang lain di depan pengikutnya, apalagi dilontarkan secara vulgar dan dengan kata-kata umpatan yang tidak senonoh. Ini yang sering terjadi ! Banyak ulama kita yang ketika berceramah di hadapan pengikutnya mendiskreditkan kelompok lain yang tidak sealiran, apalagi faktornya hanya karena perbedaan madzhab. Itu namanya pembodohan! Keliru ! Kaum muslimin jangan terus-menerus dibodohi dengan informasi-informasi yang sempit, melainkan mereka harus diberikan wawasan dan cakrawala ilmu yang luas, yang dapat mencerahkan pikiran dan nalar mereka khususnya dalam hal keberagamaan. Mendiskreditkan kelompok madzhab lain sama saja dengan tidak mengakui adanya imam-imam madzhab dalam Islam. Padahal madzhab-madzhab dalam Islam saling terkait satu sama lain: tidak ada seorang pun yang diyakini mengikuti secara mutlak salah satu madzhab tertentu. Mengikuti suatu madzhab tertentu boleh-boleh saja, tetapi sebatas dalam konteks untuk diri dan kelompoknya sendiri. Kalau sudah keluar dari komunitasnya, maka yang harus dikedepankan adalah ukhuwwah Islamiyahnya, yaitu perasaan bahwa mereka sama-sama masih beratapkan satu iman, satu agama, satu Tuhan, dan satu Nabi. Perbedaan afiliasi partai politik, ormas, suku, ras, bahasa dan lain sebagainya tidaklah berarti apa-apa jika dibandingkan dengan persamaan bahwa mereka sama-sama masih memegang teguh dua kalimat syahadat.

Apabila terdapat seorang ulama yang mendiskreditkan kelompok lain, maka akan memancing kelompok lain tersebut untuk melakukan hal serupa. Maka, jadilah saling olok-olok, saling serang, bahkan –na’udzubillah—saling memfitnah. Sebab itu, kalau terjadi ketegangan diantara sesama umat Islam berlainan madzhab, maka yang paling bertanggungjawab adalah para ulamanya. Kalau ulamanya saling berantem, bagaimana nanti pengikutnya? Padahal, seharusnya, ulama adalah orang yang paling depan dalam hal memberi contoh bagi ukhuwwah Islamiyyah. Ulama harus bisa menjadi perekat umat, dan berusaha mendekatkan kelompok-kelompok yang ada.

Berpeganglah kamu semua pada tali agama Allah, dan janganlah bercerai-berai, ingatlah kenikmatan Allah yang melimpah kepadamu, ketika kamu semuanya bermusuh-musuhan, kemudian Allah melembutkan hati-hatimu sehingga dengan itu kamu menjadi bersaudar, saat itu kamu berada di tepi jurang kehancuran, kemudian Allah menyelamatkan kamu semua. (Q, s. Alu Imrān/3:103)

Para ulama juga harus bisa menjadi contoh dalam hal kesederhanaan hidup dan keluhuran budi pekerti. Malah seharusnya ulama zaman sekarang ini dapat mencegah mewabahnya budaya konsumerisme yang lambat-laun terus menggerogoti jati diri kaum muslimin. Jangan sampai terjadi ulama menjadi contoh dalam hal kemewahan hidup penuh keglamoran, meskipun tetap harus digarisbawahi bahwa kaya tidak selalu berarti mewah, seperti halnya dengan miskin tidak identik dengan kesederhanaan. Artinya, ulama menjadi kaya boleh-boleh saja, yang tidak boleh adalah bermewah-mewahan yaitu suatu kekayaan yang digunakan untuk tujuan pamer atau gengsi-gengsian, bukan untuk tujuan menciptakan kesejahteraan bagi lingkungan sekitarnya melalui zakat dan shadaqah.

Ulama yang sombong, merasa paling suci dan menganggap dirinya paling benar, adalah cermin dari rendahnya akhlak dan kedangkalan ilmu yang dimilikinya. Ulama yang santun, bijak dan rendah hati adalah ulama yang justru mendapat simpati dari masyarakat. Wibawa yang terpancar dari ulama bukan karena jubahnya, surbannya, pecinya, wewangiannya, atau bahkan gelarnya, melainkan karena kedalaman ilmu dan kerendahan hatinya untuk senantiasa menebar senyum dan menyapa orang-orang di sekitarnya. Artinya, jangan sampai orang-orang awam menyegani ulama karena atribut-atribut lahiriahnya, karena yang seperti itu keliru. Seorang ulama disegani masyarakat karena ilmu dan akhlaknya !

Ceramah-ceramah yang disampaikan oleh ulama harus bersifat menyejukkan dan  menentramkan jiwa. Untaian kata-katanya harus dapat membangkitkan semangat orang-orang awam untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama secara benar dan baik. Idealnya setelah mendengarkan ceramah dari ulama, orang akan berubah menjadi lebih baik. Bahkan kalau ada beberapa orang yang sedang berseteru, maka setelah mengikuti pengajian yang disampaikan ulama mereka akan bersalam-salaman untuk saling memaafkan dan menjadi bersaudara kembali. Bukan sebaliknya, selepas pengajian malah menciptakan permusuhan baru di kalangan umat Islam. Terang saja, yang seperti ini keliru besar.

Kekeliruan-kekeliruan itu tidak boleh terjadi, apalagi dilakukan oleh para ulama. Ulama harus istiqamah dengan fungsi dan tugasnya dalam mengemban risalah dakwah yang diwariskan Rasulullah S.a.w. Ulama yang istiqamah adalah kekasih Allah S.w.t. Predikat “pewaris nabi” jangan mudah dipertaruhkan untuk hal-hal yang sifatnya duniawi an sich, apalagi yang jelas-jelas bertentangan dengan nash-nash dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Mudah-mudahan, negeri ini terbebas dari lahirnya ulama “abu-abu” yaitu ulama yang lahiriah nampak seperti ulama beneran, tapi akhlaknya sama sekali tidak mencerminkan sebagai akhlak para nabi. Inilah yang dikhawatirkan sekaligus dipesankan Nabi S.a.w agar jangan sampai terjadi di tengah-tengah kita, supaya agama ini tidak hancur-lebur karena ulah para ulamanya sendiri.

أَبْغَضُ الْعِبَادِ إلىَ اللهِ مَنْ كاَنَ ثَوْباَهُ خَيْرًا مِنْ عَمَلِهِ: أَنْ تَكُوْنَ ثِياَبُهُ ثِيَابَ الأَنْبِيَاءِ وَعَمَلُهُ عَمَلَ الْجَبَّارِيْنَ (رواه الديلمي)

Hamba yang paling dibenci Allah adalah yang pakaiannya lebih baik dari perbuatannya: yaitu yang pakaiannya seperti pakaian para nabi, akan tetapi perbuatannya seperti perbuatan orang-orang yang bengis (HR. Ad-Dailami)