PENYEBAB HANCURNYA AGAMA
آفَةُ الدِّيْنِ ثَلاَثَةٌ: فَقِيْهٌ فَاجِرٌ وَإِمَامٌ جَائِرٌ وَمُجْتَهِدٌ جَاهِلٌ (رواه الديلمي في "مسند الفردوس)
Hancurnya agama dikarenakan tiga
hal : ulama yang berbuat maksiat, pemimpin yang sewenang-wenang, dan mujtahid
yang bodoh (HR. Ad-Dailami di dalam Musnad
al-Firdaus)
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ulama adalah pewaris sah Nabi Muhammad S.a.w. Namun, Nabi adalah manusia biasa, yang terikat oleh ruang dan waktu, sehingga secara fisik Rasulullah S.a.w tidak mungkin akan hidup selamanya. Maka, misi dan risalah kenabian menjadi tanggungjawab para ulama untuk menyampaikannya kepada masyarakat sepeninggal Beliau. Sebab, pasca Beliau, ulama dipandang sebagai orang yang paling tahu tentang agama. Maka secara otomatis ulama kemudian dinobatkan sebagai panutan bagi masyarakat dalam keberagamaan.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ulama adalah pewaris sah Nabi Muhammad S.a.w. Namun, Nabi adalah manusia biasa, yang terikat oleh ruang dan waktu, sehingga secara fisik Rasulullah S.a.w tidak mungkin akan hidup selamanya. Maka, misi dan risalah kenabian menjadi tanggungjawab para ulama untuk menyampaikannya kepada masyarakat sepeninggal Beliau. Sebab, pasca Beliau, ulama dipandang sebagai orang yang paling tahu tentang agama. Maka secara otomatis ulama kemudian dinobatkan sebagai panutan bagi masyarakat dalam keberagamaan.
Sebetulnya, secara kebahasaan
“ulama” berarti orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan
(“ulama” adalah bentuk jamak (plural) dari “alim” (tunggal)),
terlepas apakah ilmu yang dimilikinya merupakan ilmu-ilmu tentang keagamaan
maupun ilmu pengetahuan secara umum. Artinya, secara harfiah seorang insinyur
juga bisa disebut sebagai “alim”, demikian pula seorang dokter, ekonom
dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya, budaya Islam saat ini mengenal
istilah “ulama” hanya digunakan untuk orang yang ahli dalam ilmu agama.
Maka dari itu, bisa dipahami apabila kemudian terjadi pergeseran makna bahwa
ulama lalu diidentikkan dengan sebuatan “kyai”, karena ia adalah orang yang
paham tentang agama.
Dalam Islam, adanya para ulama
terjadi secara informal, yaitu bahwa seseorang disebut “ulama” setelah
adanya pengakuan dari masyarakat. Tidak seperti dalam tradisi Kristen dimana
para pendetanya dinobatkan melalui sebuah pelantikan atau pentahbisan. Meskipun
menjadi rujukan dalam hal keberagamaan, ulama tidak berarti memiliki kewenangan
atas segalanya dalam keberagamaan: fatwa-fatwa para ulama tidaklah mengikat
mutlak, dan dapat dipertanyakan tingkat keabsahannya dengan mengemukakan sumber
atau dasar-dasar ilmu lain yang lebih absah, kuat dan lebih tepat.
Dengan kata lain, fatwa ulama
hanya bisa dibantah dengan fatwa lain melalui argumen-argumen kuat yang terbuka
untuk diperdebatkan. Artinya, fatwa seorang ulama adalah sebanding dengan
tingkat keilmuan yang dimilikinya. Bagi orang awam, tidak ada pilihan kecuali
mengikuti salah satu fatwa ulama diantara fatwa-fatwa yang ada, atau mengikuti
semuanya. Yang tidak boleh bagi orang awam adalah mengabaikan fatwa para ulama,
lalu membuat fatwa sendiri baik bagi dirinya maupun orang lain. Sebab, orang
awam dianggap tidak cukup kuat untuk mendasarkan fatwanya pada sumber-sumber
yang absah dan otentik, karena tidak cukup ilmu. Dengan demikian, yang berhak
mengeluarkan fatwa dalam hal agama adalah ulama, yaitu ulama yang benar-benar
alim dan mumpuni secara ilmu agama, sebab mereka adalah para mujtahid. Kalau ada
orang awam yang berfatwa, itu namanya mujtahid bodoh, dan itulah yang
menyebabkan kehancuran agama sebagaimana disinyalir dalam hadits di atas.
Sekarang ini banyak orang awam berlagak jadi ulama, lalu memberi fatwa, dan
bahayanya kalau fatwa yang tidak karu-karuan itu sampai diikuti orang maka akan
menjerumuskan. Di zaman ini membedakan mana yang ulama “asli” dengan ulama
“karbitan” rasa-rasanya susah, karena makin banyak orang-orang bodoh yang
tiba-tiba menjadi mujtahid. Akibat pengaruh media massa, sekarang menjadi sulit
membedakan antara ulama sejati dengan paranormal: ulama ya ulama, paranormal ya
paranormal ! Ulama adalah orang yang menuntun dirinya sendiri dan orang lain
menuju kebaikan sesuai dengan tuntunan agama, sedangkan paranormal adalah tukang
ramal yang sok tahu tentang masa depan yang belum
terjadi.
Kita sama sekali tidak disuruh bertanya kepada
paranormal, apapun jenisnya! Karena Al-Qur’an hanya memerintahkan kita untuk
bertanya hanya kepada ulama apa-apa yang belum kita diketahui. “Fas’alū ahlad
dzikri in kuntum lā ta’lamūn” : Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui (Lihat, Q, s. an-Nahl/16:43). Dalam ayat
tersebut, orang yang mempunyai pengetahuan disebutkan sebagai “ahli dzikir”.
Seorang ulama adalah sosok seorang ahli dzikir, baik dzikir bil qalbi
(dengan hati) maupun dzikir bil ‘aqli (dengan nalar). Paranormal sama
sekali bukan kelompok ahli dzikir !
Oleh karenanya, ulama dipandang
sebagai orang yang tepat untuk mengawal cara keberagamaan orang-orang awam. Maka
tepat sekali ungkapan hadits Nabi yang berbunyi “al-ulamā’ waratsat
al-anbiyā’”: ulama adalah pewaris para nabi. Mengingat kedudukannya sebagai
pewaris para nabi, maka Islam menganjurkan agar masyarakat memandang penuh
hormat kepada para ulama. Sebab, Al-Qur’an mensinyalir bahwa kalangan ulama
adalah kelompok orang yang paling mampu bertaqwa kepada Allah
S.w.t.
…Sesungguhnya orang yang
paling takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama (Lihat, Q, s.
Fathir/ 35:28).
Justru di situlah letak
masalahnya. Umat Islam sekarang ini sering mengalami kebingungan yang luar
biasa, karena dalam realita mereka sering melihat para ulama tidak seperti yang
digambarkan oleh Al-Qur’an. Sebagai orang yang paham betul tentang agama dan
menjadi panutan masyarakat, ulama tidak sepantasnya melakukan hal-hal yang
justru bertentangan dengan norma-norma agama.
Misalnya, seorang ulama tidak
boleh bermain perempuan, karena selain ia mengetahui hukum-hukumnya di dalam
agama, bisa-bisa kelakuan ulama yang suka main perempuan akan ditiru oleh para
pengikutnya. Justru ulama harus menjadi teladan dalam berumah tangga, dan
menjadi panutan bagi keluarga sakinah. Ulama yang benar-benar ulama adalah yang
rumah tangganya damai, tentram dan sejahtera: istrinya solehah dan anak-anaknya
merupakan contoh bagi mereka yang ingin berbakti dan berbuat baik kepada kedua
orang tuanya.
Ulama juga tidak boleh korupsi,
apalagi berbohong kepada masyarakat, karena nanti bisa menjadi pembenaran bagi
orang awam untuk melakukan tindakan serupa. Jangan sampai para koruptor di
negeri ini mengeluarkan kata-kata “pembelaan” atas tindakannya: “ulama yang tahu
agama saja bisa korupsi, apalagi kita yang awam”. Ada yang pernah bilang bahwa
“apabila orang awam mencuri ayam itu hal biasa, tetapi kalau ada ulama jadi
koruptor darimana logikanya?”
Seorang ulama juga tidak
sepantasnya menjelek-jelekkan orang lain di depan pengikutnya, apalagi
dilontarkan secara vulgar dan dengan kata-kata umpatan yang tidak senonoh. Ini
yang sering terjadi ! Banyak ulama kita yang ketika berceramah di hadapan
pengikutnya mendiskreditkan kelompok lain yang tidak sealiran, apalagi faktornya
hanya karena perbedaan madzhab. Itu namanya pembodohan! Keliru ! Kaum muslimin
jangan terus-menerus dibodohi dengan informasi-informasi yang sempit, melainkan
mereka harus diberikan wawasan dan cakrawala ilmu yang luas, yang dapat
mencerahkan pikiran dan nalar mereka khususnya dalam hal keberagamaan.
Mendiskreditkan kelompok madzhab lain sama saja dengan tidak mengakui adanya
imam-imam madzhab dalam Islam. Padahal madzhab-madzhab dalam Islam saling
terkait satu sama lain: tidak ada seorang pun yang diyakini mengikuti secara
mutlak salah satu madzhab tertentu. Mengikuti suatu madzhab tertentu boleh-boleh
saja, tetapi sebatas dalam konteks untuk diri dan kelompoknya sendiri. Kalau
sudah keluar dari komunitasnya, maka yang harus dikedepankan adalah ukhuwwah
Islamiyahnya, yaitu perasaan bahwa mereka sama-sama masih beratapkan satu iman,
satu agama, satu Tuhan, dan satu Nabi. Perbedaan afiliasi partai politik, ormas,
suku, ras, bahasa dan lain sebagainya tidaklah berarti apa-apa jika dibandingkan
dengan persamaan bahwa mereka sama-sama masih memegang teguh dua kalimat
syahadat.
Apabila terdapat seorang ulama
yang mendiskreditkan kelompok lain, maka akan memancing kelompok lain tersebut
untuk melakukan hal serupa. Maka, jadilah saling olok-olok, saling serang,
bahkan –na’udzubillah—saling memfitnah. Sebab itu, kalau terjadi
ketegangan diantara sesama umat Islam berlainan madzhab, maka yang paling
bertanggungjawab adalah para ulamanya. Kalau ulamanya saling berantem, bagaimana
nanti pengikutnya? Padahal, seharusnya, ulama adalah orang yang paling depan
dalam hal memberi contoh bagi ukhuwwah Islamiyyah. Ulama harus bisa menjadi
perekat umat, dan berusaha mendekatkan kelompok-kelompok yang
ada.
Berpeganglah kamu semua pada
tali agama Allah, dan janganlah bercerai-berai, ingatlah kenikmatan Allah yang
melimpah kepadamu, ketika kamu semuanya bermusuh-musuhan, kemudian Allah
melembutkan hati-hatimu sehingga dengan itu kamu menjadi bersaudar, saat itu
kamu berada di tepi jurang kehancuran, kemudian Allah menyelamatkan kamu semua.
(Q, s. Alu Imrān/3:103)
Para ulama juga harus bisa
menjadi contoh dalam hal kesederhanaan hidup dan keluhuran budi pekerti. Malah
seharusnya ulama zaman sekarang ini dapat mencegah mewabahnya budaya
konsumerisme yang lambat-laun terus menggerogoti jati diri kaum muslimin. Jangan
sampai terjadi ulama menjadi contoh dalam hal kemewahan hidup penuh keglamoran,
meskipun tetap harus digarisbawahi bahwa kaya tidak selalu berarti mewah,
seperti halnya dengan miskin tidak identik dengan kesederhanaan. Artinya, ulama
menjadi kaya boleh-boleh saja, yang tidak boleh adalah bermewah-mewahan yaitu
suatu kekayaan yang digunakan untuk tujuan pamer atau gengsi-gengsian, bukan
untuk tujuan menciptakan kesejahteraan bagi lingkungan sekitarnya melalui zakat
dan shadaqah.
Ulama yang sombong, merasa
paling suci dan menganggap dirinya paling benar, adalah cermin dari rendahnya
akhlak dan kedangkalan ilmu yang dimilikinya. Ulama yang santun, bijak dan
rendah hati adalah ulama yang justru mendapat simpati dari masyarakat. Wibawa
yang terpancar dari ulama bukan karena jubahnya, surbannya, pecinya,
wewangiannya, atau bahkan gelarnya, melainkan karena kedalaman ilmu dan
kerendahan hatinya untuk senantiasa menebar senyum dan menyapa orang-orang di
sekitarnya. Artinya, jangan sampai orang-orang awam menyegani ulama karena
atribut-atribut lahiriahnya, karena yang seperti itu keliru. Seorang ulama
disegani masyarakat karena ilmu dan akhlaknya !
Ceramah-ceramah yang disampaikan
oleh ulama harus bersifat menyejukkan dan menentramkan jiwa. Untaian
kata-katanya harus dapat membangkitkan semangat orang-orang awam untuk
melaksanakan ajaran-ajaran agama secara benar dan baik. Idealnya setelah
mendengarkan ceramah dari ulama, orang akan berubah menjadi lebih baik. Bahkan
kalau ada beberapa orang yang sedang berseteru, maka setelah mengikuti pengajian
yang disampaikan ulama mereka akan bersalam-salaman untuk saling memaafkan dan
menjadi bersaudara kembali. Bukan sebaliknya, selepas pengajian malah
menciptakan permusuhan baru di kalangan umat Islam. Terang saja, yang seperti
ini keliru besar.
Kekeliruan-kekeliruan itu tidak
boleh terjadi, apalagi dilakukan oleh para ulama. Ulama harus istiqamah dengan
fungsi dan tugasnya dalam mengemban risalah dakwah yang diwariskan Rasulullah
S.a.w. Ulama yang istiqamah adalah kekasih Allah S.w.t. Predikat “pewaris nabi”
jangan mudah dipertaruhkan untuk hal-hal yang sifatnya duniawi an sich,
apalagi yang jelas-jelas bertentangan dengan nash-nash dalam Al-Qur’an
maupun Sunnah. Mudah-mudahan, negeri ini terbebas dari lahirnya ulama “abu-abu”
yaitu ulama yang lahiriah nampak seperti ulama beneran, tapi akhlaknya sama
sekali tidak mencerminkan sebagai akhlak para nabi. Inilah yang dikhawatirkan
sekaligus dipesankan Nabi S.a.w agar jangan sampai terjadi di tengah-tengah
kita, supaya agama ini tidak hancur-lebur karena ulah para ulamanya
sendiri.
أَبْغَضُ الْعِبَادِ إلىَ اللهِ مَنْ كاَنَ ثَوْباَهُ
خَيْرًا مِنْ عَمَلِهِ: أَنْ تَكُوْنَ ثِياَبُهُ ثِيَابَ الأَنْبِيَاءِ وَعَمَلُهُ
عَمَلَ الْجَبَّارِيْنَ (رواه الديلمي)
Hamba yang paling dibenci Allah
adalah yang pakaiannya lebih baik dari perbuatannya: yaitu yang pakaiannya
seperti pakaian para nabi, akan tetapi perbuatannya seperti perbuatan
orang-orang yang bengis (HR. Ad-Dailami)