Suluk-suluk Sunan Bonang 3
Tasawuf dan Pengetahuan Diri
Secara keseluruhan jalan tasawuf merupakan metode-metode untuk mencapai pengetahuan diri dan hakikat wujud tertinggi, melalui apa yang disebut sebagai jalan Cinta dan penyucian diri. Cinta yang dimaksudkan para sufi ialah kecenderungan kuat dari kalbu kepada Yang Satu, karena pengetahuan tentang hakikat ketuhanan hanya dicapai tersingkapnya cahaya penglihatan batin (kasyf) dari dalam kalbu manusia (Taftazani 1985:56). Tahapan-tahapan jalan tasawuf dimulai dengan‘penyucian diri’, yang oleh Mir Valiuddin (1980;1-3) dibagi tiga: Pertama, penyucian jiwa atau nafs (thadkiya al-nafs); kedua, pemurnian kalbu (tashfiya al-qalb); ketiga, pengosongan pikiran dan ruh dari selain Tuhan (takhliya al-sirr).
Istilah lain untuk metode penyucian diri ialah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengalah hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang menguasai jasmani manusia (‘diri jasmani’). Hasil dari mujahadah ialah musyahadah dan mukasyafah. Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu, sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu.
Penyucian jiwa dicapai dengan memperbanyak ibadah dan amal saleh. Termasuk ke dalam ibadah ialah melaksanakan salat sunnah, wirid, zikir, mengurangi makan dan tidur untuk melatih ketangguhan jiwa. Semua itu dikemukakan oleh Sunan Bonang dalam risalahnya Pitutur Seh Bari dan juga oleh Hamzah Fansuri dalam Syarab al-`Asyiqin (“Minuman Orang Berahi”). Sedangkan pemurnian kalbu ialah dengan membersihkan niat buruk yang dapat memalingkan hati dari Tuhan dan melatih kalbu dengan keinginan-keinginan yang suci. Sedangkan pengosongan pikiran dilakukan dengan tafakkur atau meditasi, pemusatan pikiran kepada Yang Satu. Dalam sejarah tasawuf ini telah sejak lama ditekankan, terutama oleh Sana’i, seorang penyair sufi Persia abad ke-12 M. Dengan tafakkur, menurut Sana’i, maka pikiran seseorang dibebaskan dari kecenderungan untuk menyekutuhan Tuhan dan sesembahan yang lain (Smith 1972:76-7).
Dalam Suluk Wujil juga disebutkan bahwa murid-muridnya menyebut Sunan Bonang sebagai Ratu Wahdat. Istilah ‘wahdat’ merujuk pada konsep sufi tentang martabat (tingkatan) pertama dari tajalli Tuhan atau pemanifestasian ilmu Tuhan atau perbendaharaan tersembunyi-Nya (kanz makhfiy) secara bertahap dari ciptaan paling esensial dan bersifat ruhani sampai ciptaan yang bersifat jasmani. Martabat wahdat ialah martabat keesaan Tuhan, yaitu ketika Tuhan menampakkan keesaan-Nya di antara ciptaan-ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Pada peringkat ini Allah menciptakan esensi segala sesuatu (a’yan tsabitah) atau hakikat segala sesuatu (haqiqat al-ashya). Esensi segala sesuatu juga disebut ‘bayangan pengetahuan Tuhan’ (suwar al-ilmiyah) atau hakikat Muhammad yang berkilau-kilauan (nur muhammad). Ibn `Arabi menyebut gerak penciptaaan ini sebagai gerakan Cinta dari Tuhan, berdasar hadis qudsi yang berbunyi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal, maka aku mencipta hingga Aku dikenal” (Abdul Hadi W. M. 2002:55-60). Maka sebutan Ratu Wahdat dalam suluk ini dapat diartikan sebagai orang yang mencapai martabat tinggi di jalan Cinta, yaitu memperoleh makrifat dan telah menikmati lezatnya persatuan ruhani dengan Yang Haqq.
Pengetahuan Diri, Cermin dan Ka’bah
Secara keseluruhan bait-bait dalam Suluk Wujil adalah serangkaian jawaban Sunan Bonang terhadap pertanyaan-pertanyaan Wujil tentang akal yang disebut Ada dan Tiada, mana ujung utara dan selatan, apa hakikat kesatuan huruf dan lain-lain. Secara berurutan jawaban yang diberikan Sunan Bonang berkenaan dengan soal: (1) Pengetahuan diri, meliputi pentingnya pengetahuan ini dan hubungannya dengan hakikat salat atau memuja Tuhan. Simbol burung dan cermin digunakan untuk menerangkan masalah ini; (2) Hakikat diam dan bicara; (3) Kemauan murni sebagai sumber kebahagiaan ruhani; (4) Hubungan antara pikiran dan perbuatan manusia dengan kejadian di dunia; (5) Falsafah Nafi Isbat serta kaitannya dengan makna simbolik pertunjukan wayang, khususnya lakon perang besar antara Kurawa dan Pandawa dari epik Mahabharata; (6) Gambaran tentang Mekkah Metafisisik yang merupakan pusat jagat raya, bukan hanya di alam kabir (macrocosmos) tetapi juga di alam saghir (microcosmos), yaitu dalam diri manusia yang terdalam; (7) Perbedaan jalan asketisme atau zuhud dalam agama Hindu dan Islam.
Sunan Bonang menghubungkan hakikat salat berkaitan dengan pengenalan diri, sebab dengan melakukan salat seseorang sebenarnya berusaha mengenal dirinya sebagai ‘yang menyembah’, dan sekaligus berusaha mengenal Tuhan sebagai ‘Yang Disembah’. Pada bait ke-12 dan selanjutnya Sunan Bonang menulis:
Selanjutnya dikatakan bahwa diam yang hakiki ialah ketika seseorang melaksanakan salat tahajud, yaitu salat sunnah tengah malam setelah tidur. Salat semacam ini merupakan cara terbaik mengatasi berbagai persoalan hidup. Inti salat ialah bertemu muka dengan Tuhan tanpa perantara. Jika seseorang memuja tidak mengetahui benar-benar siapa yang dipuja, maka yang dilakukannya tidak bermanfaat. Salat yang sejati mestilah dilakukan dengan makrifat. Ketika melakukan salat, semestinya seseorang mampu membayangkan kehadiran dirinya bersama kehadiran Tuhan. Keadaan dirinya lebih jauh harus dibayangkan sebagai ’tidak ada’, sebab yang sebenar-benar Ada hanyalah Tuhan, Wujud Mutlak dan Tunggal yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sedangkan adanya makhluq-makhluq, termasuk manusia, sangat tergantung kepada Adanya Tuhan.
Setelah itu Sunan Bonang lebih jauh berbicara tentang hakikat murni ‘kemauan’. Kemauan yang sejati tidak boleh dibatasi pada apa yang dipikirkan. Memikirkan atau menyebut sesuatu memang merupakan kemauan murni. Tetapi kemauan murni lebih luas dari itu.
Di sini Sunan Bonang agaknya berpendapat bahwa kemauan atau kehendak (iradat) , yaitu niat dan iktiqad, mestilah diperbaiki sebelum seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan yang baik. Perbuatan yang baik datang dari kemauan baik, dan sebaliknya kehendak yang tidak baik melahirkan tindakan yang tidak baik pula. Apa yang dikatakan oleh Sunan Bonang dapat dirujuk pada pernyataan seorang penyair Melayu (anonim) dalam Syair Perahu, seperti berikut:
Tamsil Islam universal lain yang menonjol dalam Suluk Wujil ialah cermin beserta pasangannya gambar atau bayang-bayang yang terpantul dalam cermin, serta Mekkah. Para sufi biasa menggunakan tamsil cermin, misalnya Ibn `Arabi. Sufi abad ke-12 M dari Andalusia ini menggunakannya untuk menerangkan falsafahnya bahwa Yang Satu meletakkan cermin dalam hati manusia agar Dia dapat melihat sebagian dari gambaran Diri-Nya (kekayaan ilmu-Nya atau perbendaharaan-Nya yang tersembunyi) dalam ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Yang banyak di alam kejadian (alam al-khalq) merupakan gambar atau bayangan dari Pelaku Tunggal yang berada di tempat rahasia dekat cermin (Abu al-Ala Affifi 1964:15-7).
Pada pupuh atau bait ke-74 diceritakan Sunan Bonang menyuruh muridnya Ken Satpada mengambil cermin dan menaruhnya di pohon Wungu. Kemudian dia dan Wujil disuruh berdiri di muka cermin. Mereka menyaksikan dua bayangan dalam cermin. Kemudian Sunan Bonang menyuruh salah seorang dari mereka menjauh dari cermin, sehingga yang tampak hanya bayangan satu orang. Maka Sunan Bonang bertanya: ”Bagaimana bayang-bayang datang/Dan kemana dia menghilang?” (bait 81). Melalui contoh datang dan perginya bayangan dari cermin, Wujil kini tahu bahwa ”Dalam Ada terkandung tiada, dan dalam tiada terkandung ada” Sang Guru membenarkan jawaban sang murid. Lantas Sunan Bonang menerangkan aspek nafi (penidakan) dan isbat (pengiyaan) yang terkandung dalam kalimah La ilaha illa Allah (Tiada tuhan selain Allah). Yang dinafikan ialah selain dari Allah, dan yang diisbatkan sebagai satu-satunya Tuhan ialah Allah.
Pada bait atau pupuh 91-95 diceritakan perjalanan seorang ahli tasawuf ke pusat renungan yang bernama Mekkah, yang di dalamnya terdapat rumah Tuhan atau Baitullah. Mekkah yang dimaksud di sini bukan semata Mekkah di bumi, tetapi Mekkah spiritual yang bersifat metafisik. Ka’bah yang ada di dalamnya merupakan tamsil bagi kalbu orang yang imannya telah kokoh. Abdullah Anshari, sufi abad ke-12 M, misalnya berpandapat bahwa Ka’bah yang di Mekkah, Hejaz, dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s. Sedangkan Ka’bah dalam kalbu insan dibangun oleh Tuhan sebagai pusat perenungan terhadap keesaan Wujud-Nya (Rizvi 1978:78).
Sufi Persia lain abad ke-11 M, Ali Utsman al-Hujwiri dalam kitabnya menyatakan bahwa rumah Tuhan itu ada dalam pusat perenungan orang yang telah mencapai musyahadah. Kalau seluruh alam semesta bukan tempat pertemuan manusia dengan Tuhan, dan juga bukan tempat manusia menikmati hiburan berupa kedekatan dengan Tuhan, maka tidak ada orang yang mengetahui makna cinta ilahi. Tetapi apabila orang memiliki penglihatan batin, maka seluruh alam semesta ini akan merupakan tempat sucinya atau rumah Tuhan. Langkah sufi sejati sebenarnya merupakan tamsil perjalanan menuju Mekkah. Tujuan perjalanan itu bukan tempat suci itu sendiri, tetapi perenungan keesaan Tuhan (musyahadah), dan perenungan dilakukan disebabkan kerinduan yang mendalam dan luluhnya diri seseorang (fana’) dalam cinta tanpa akhir (Kasyful Mahjub 293-5).
Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah dipahami apabila dalam Suluk Wujil dikatakan, “Tidak ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki itu berada, sekalipun mereka melakukan perjalanan sejak muda sehingga tua renta. Mereka tidak akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal ilmu yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah itu akan menjadi seorang wali. Tetapi ilmu semacam itu diliputi rahasia dan sukar diperoleh. Bekalnya bukan uang dan kekayaan, tetapi keberanian dan kesanggupan untuk mati dan berjihad lahir batin, serta memiliki kehalusan budi pekerti dan menjauhi kesenangan duniawi.
Di dalam masjid di Mekkah itu terdapat singgasana Tuhan, yang berada di tengah-tengah. Singgasana ini menggantung di atas tanpa tali. Dan jika orang melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di atasnya. Jika orang melihat ke barat, ia akan melihat timur, dan jika melihat timur ia akan menyaksikan barat. Di situ pemandangan terbalik. Jika orang melihat ke selatan yang tampak ialah utara, sangat indah pemandangannya. Dan jika ia melihat ke utara akan tampak selatan, gemerlapan seperti ekor burung merak. Apabila satu orang shalat di sana, maka hanya ada ruangan untuk satu orang saja. Jika ada dua atau tiga orang shalat, maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang. Apabila ada 10.000 orang melakukan shalat di sana, maka Ka`bah dapat menampung mereka semua. Bahkan seandainya seluruh dunia dimasukkan ke dalamnya, seluruh dunia pun akan tertampung juga”.
Wujil menjadi tenang setelah mendengarkan pitutur gurunya. Akan tetapi dia tetap merasa asing dengan lingkungan kehidupan keagamaan yang dijumpainya di Bonang.
Secara keseluruhan jalan tasawuf merupakan metode-metode untuk mencapai pengetahuan diri dan hakikat wujud tertinggi, melalui apa yang disebut sebagai jalan Cinta dan penyucian diri. Cinta yang dimaksudkan para sufi ialah kecenderungan kuat dari kalbu kepada Yang Satu, karena pengetahuan tentang hakikat ketuhanan hanya dicapai tersingkapnya cahaya penglihatan batin (kasyf) dari dalam kalbu manusia (Taftazani 1985:56). Tahapan-tahapan jalan tasawuf dimulai dengan‘penyucian diri’, yang oleh Mir Valiuddin (1980;1-3) dibagi tiga: Pertama, penyucian jiwa atau nafs (thadkiya al-nafs); kedua, pemurnian kalbu (tashfiya al-qalb); ketiga, pengosongan pikiran dan ruh dari selain Tuhan (takhliya al-sirr).
Istilah lain untuk metode penyucian diri ialah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengalah hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang menguasai jasmani manusia (‘diri jasmani’). Hasil dari mujahadah ialah musyahadah dan mukasyafah. Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu, sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu.
Penyucian jiwa dicapai dengan memperbanyak ibadah dan amal saleh. Termasuk ke dalam ibadah ialah melaksanakan salat sunnah, wirid, zikir, mengurangi makan dan tidur untuk melatih ketangguhan jiwa. Semua itu dikemukakan oleh Sunan Bonang dalam risalahnya Pitutur Seh Bari dan juga oleh Hamzah Fansuri dalam Syarab al-`Asyiqin (“Minuman Orang Berahi”). Sedangkan pemurnian kalbu ialah dengan membersihkan niat buruk yang dapat memalingkan hati dari Tuhan dan melatih kalbu dengan keinginan-keinginan yang suci. Sedangkan pengosongan pikiran dilakukan dengan tafakkur atau meditasi, pemusatan pikiran kepada Yang Satu. Dalam sejarah tasawuf ini telah sejak lama ditekankan, terutama oleh Sana’i, seorang penyair sufi Persia abad ke-12 M. Dengan tafakkur, menurut Sana’i, maka pikiran seseorang dibebaskan dari kecenderungan untuk menyekutuhan Tuhan dan sesembahan yang lain (Smith 1972:76-7).
Dalam Suluk Wujil juga disebutkan bahwa murid-muridnya menyebut Sunan Bonang sebagai Ratu Wahdat. Istilah ‘wahdat’ merujuk pada konsep sufi tentang martabat (tingkatan) pertama dari tajalli Tuhan atau pemanifestasian ilmu Tuhan atau perbendaharaan tersembunyi-Nya (kanz makhfiy) secara bertahap dari ciptaan paling esensial dan bersifat ruhani sampai ciptaan yang bersifat jasmani. Martabat wahdat ialah martabat keesaan Tuhan, yaitu ketika Tuhan menampakkan keesaan-Nya di antara ciptaan-ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Pada peringkat ini Allah menciptakan esensi segala sesuatu (a’yan tsabitah) atau hakikat segala sesuatu (haqiqat al-ashya). Esensi segala sesuatu juga disebut ‘bayangan pengetahuan Tuhan’ (suwar al-ilmiyah) atau hakikat Muhammad yang berkilau-kilauan (nur muhammad). Ibn `Arabi menyebut gerak penciptaaan ini sebagai gerakan Cinta dari Tuhan, berdasar hadis qudsi yang berbunyi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal, maka aku mencipta hingga Aku dikenal” (Abdul Hadi W. M. 2002:55-60). Maka sebutan Ratu Wahdat dalam suluk ini dapat diartikan sebagai orang yang mencapai martabat tinggi di jalan Cinta, yaitu memperoleh makrifat dan telah menikmati lezatnya persatuan ruhani dengan Yang Haqq.
Pengetahuan Diri, Cermin dan Ka’bah
Secara keseluruhan bait-bait dalam Suluk Wujil adalah serangkaian jawaban Sunan Bonang terhadap pertanyaan-pertanyaan Wujil tentang akal yang disebut Ada dan Tiada, mana ujung utara dan selatan, apa hakikat kesatuan huruf dan lain-lain. Secara berurutan jawaban yang diberikan Sunan Bonang berkenaan dengan soal: (1) Pengetahuan diri, meliputi pentingnya pengetahuan ini dan hubungannya dengan hakikat salat atau memuja Tuhan. Simbol burung dan cermin digunakan untuk menerangkan masalah ini; (2) Hakikat diam dan bicara; (3) Kemauan murni sebagai sumber kebahagiaan ruhani; (4) Hubungan antara pikiran dan perbuatan manusia dengan kejadian di dunia; (5) Falsafah Nafi Isbat serta kaitannya dengan makna simbolik pertunjukan wayang, khususnya lakon perang besar antara Kurawa dan Pandawa dari epik Mahabharata; (6) Gambaran tentang Mekkah Metafisisik yang merupakan pusat jagat raya, bukan hanya di alam kabir (macrocosmos) tetapi juga di alam saghir (microcosmos), yaitu dalam diri manusia yang terdalam; (7) Perbedaan jalan asketisme atau zuhud dalam agama Hindu dan Islam.
Sunan Bonang menghubungkan hakikat salat berkaitan dengan pengenalan diri, sebab dengan melakukan salat seseorang sebenarnya berusaha mengenal dirinya sebagai ‘yang menyembah’, dan sekaligus berusaha mengenal Tuhan sebagai ‘Yang Disembah’. Pada bait ke-12 dan selanjutnya Sunan Bonang menulis:
12
Kebajikan utama (seorang Muslim)
Ialah mengetahui hakikat salat
Hakikat memuja dan memuji
Salat yang sebenarnya
Tidak hanya pada waktu isya dan maghrib
Tetapi juga ketika tafakur
Dan salat tahajud dalam keheningan
Buahnya ialah mnyerahkan diri senantiasa
Dan termasuk akhlaq mulia
13
Apakah salat yang sebenar-benar salat?
Renungkan ini: Jangan lakukan salat
Andai tiada tahu siapa dipuja
Bilamana kaulakukan juga
Kau seperti memanah burung
Tanpa melepas anak panah dari busurnya
Jika kaulakukan sia-sia
Karena yang dipuja wujud khayalmu semata
14
Lalu apa pula zikir yang sebenarnya?
Dengar: Walau siang malam berzikir
Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan
Zikirmu tidak sempurna
Zikir sejati tahu bagaimana
Datang dan perginya nafas
Di situlah Yang Ada, memperlihatkan
Hayat melalui yang empat
15
Yang empat ialah tanah atau bumi
Lalu api, udara dan air
Ketika Allah mencipta Adam
Ke dalamnya dilengkapi
Anasir ruhani yang empat:
Kahar, jalal, jamal dan kamal
Di dalamnya delapan sifat-sifat-Nya
Begitulah kaitan ruh dan badan
Dapat dikenal bagaimana
Sifat-sifat ini datang dan pergi, serta ke mana
16
Anasir tanah melahirkan
Kedewasaan dan keremajaan
Apa dan di mana kedewasaan
Dan keremajaan? Dimana letak
Kedewasaan dalam keremajaan?
Api melahirkan kekuatan
Juga kelemahan
Namun di mana letak
Kekuatan dalam kelemahan?
Ketahuilah ini
17
Sifat udara meliputi ada dan tiada
Di dalam tiada, di mana letak ada?
Di dalam ada, di mana tempat tiada?
Air dua sifatnya: mati dan hidup
Di mana letak mati dalam hidup?
Dan letak hidup dalam mati?
Kemana hidup pergi
Ketika mati datang?
Jika kau tidak mengetahuinya
Kau akan sesat jalan
18
Pedoman hidup sejati
Ialah mengenal hakikat diri
Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk
Oleh karena itu ketahuilah
Tempat datangnya yang menyembah
Dan Yang Disembah
Pribadi besar mencari hakikat diri
Dengan tujuan ingin mengetahui
Makna sejati hidup
Dan arti keberadaannya di dunia
19
Kenalilah hidup sebenar-benar hidup
Tubuh kita sangkar tertutup
Ketahuilah burung yang ada di dalamnya
Jika kau tidak mengenalnya
Akan malang jadinya kau
Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil
Sia-sia semata
Jika kau tak mengenalnya.
Karena itu sucikan dirimu
Tinggalah dalam kesunyian
Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak diberi jawaban langsung, melainkan dengan isyarat-isyarat yang mendorong Wujil melakukan perenungan lebih jauh dan dalam. Sunan Bonang kemudian berkata dan perkatannya semakin memasuki inti persoalan:
20
Keindahan, jangan di tempat jauh dicari
Ia ada dalam dirimu sendiri
Seluruh isi jagat ada di sana
Agar dunia ini terang bagi pandangmu
Jadikan sepenuh dirimu Cinta
Tumpukan pikiran, heningkan cipta
Jangan bercerai siang malam
Yang kaulihat di sekelilingmu
Pahami, adalah akibat dari laku jiwamu!
21
Dunia ini Wujil, luluh lantak
Disebabkan oleh keinginanmu
Kini, ketahui yang tidak mudah rusak
Inilah yang dikandung pengetahuan sempurna
Di dalamnya kaujumpai Yang Abadi
Bentangan pengetahuan ini luas
Dari lubuk bumi hingga singgasana-Nya
Orang yang mengenal hakikat
Dapat memuja dengan benar
Selain yang mendapat petunjuk ilahi
Sangat sedikit orang mengetahui rahasia ini
22
Karena itu, Wujil, kenali dirimu
Kenali dirimu yang sejati
Ingkari benda
Agar nafsumu tidur terlena
Dia yang mengenal diri
Nafsunya akan terkendali
Dan terlindung dari jalan
Sesat dan kebingungan
Kenal diri, tahu kelemahan diri
Selalu awas terhadap tindak tanduknya
23
Bila kau mengenal dirimu
Kau akan mengenal Tuhanmu
Orang yang mengenal Tuhan
Bicara tidak sembarangan
Ada yang menempuh jalan panjang
Dan penuh kesukaran
Sebelum akhirnya menemukan dirinya
Dia tak pernah membiarkan dirinya
Sesat di jalan kesalahan
Jalan yang ditempuhnya benar
24
Wujud Tuhan itu nyata
Mahasuci, lihat dalam keheningan
Ia yang mengaku tahu jalan
Sering tindakannya menyimpang
Syariat agama tidak dijalankan
Kesalehan dicampakkan ke samping
Padahal orang yang mengenal Tuhan
Dapat mengendalikan hawa nafsu
Siang malam penglihatannya terang
Tidak disesatkan oleh khayalan
Selanjutnya dikatakan bahwa diam yang hakiki ialah ketika seseorang melaksanakan salat tahajud, yaitu salat sunnah tengah malam setelah tidur. Salat semacam ini merupakan cara terbaik mengatasi berbagai persoalan hidup. Inti salat ialah bertemu muka dengan Tuhan tanpa perantara. Jika seseorang memuja tidak mengetahui benar-benar siapa yang dipuja, maka yang dilakukannya tidak bermanfaat. Salat yang sejati mestilah dilakukan dengan makrifat. Ketika melakukan salat, semestinya seseorang mampu membayangkan kehadiran dirinya bersama kehadiran Tuhan. Keadaan dirinya lebih jauh harus dibayangkan sebagai ’tidak ada’, sebab yang sebenar-benar Ada hanyalah Tuhan, Wujud Mutlak dan Tunggal yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sedangkan adanya makhluq-makhluq, termasuk manusia, sangat tergantung kepada Adanya Tuhan.
35
Diam dalam tafakur, Wujil
Adalah jalan utama (mengenal Tuhan)
Memuja tanpa selang waktu
Yang mengerjakan sempurna (ibadahnya)
Disebabkan oleh makrifat
Tubuhnya akan bersih dari noda
Pelajari kaedah pencerahan kalbu ini
Dari orang arif yang tahu
Agar kau mencapai hakikat
Yang merupakan sumber hayat
36
Wujil, jangan memuja
Jika tidak menyaksikan Yang Dipuja
Juga sia-sia orang memuja
Tanpa kehadiran Yang Dipuja
Walau Tuhan tidak di depan kita
Pandanglah adamu
Sebagai isyarat ada-Nya
Inilah makna diam dalam tafakur
Asal mula segala kejadian menjadi nyata
Setelah itu Sunan Bonang lebih jauh berbicara tentang hakikat murni ‘kemauan’. Kemauan yang sejati tidak boleh dibatasi pada apa yang dipikirkan. Memikirkan atau menyebut sesuatu memang merupakan kemauan murni. Tetapi kemauan murni lebih luas dari itu.
38
Renungi pula, Wujil!
Hakikat sejati kemauan
Hakikatnya tidak dibatasi pikiran kita
Berpikir dan menyebut suatu perkara
Bukan kemauan murni
Kemauan itu sukar dipahami
Seperti halnya memuja Tuhan
Ia tidak terpaut pada hal-hal yang tampak
Pun tidak membuatmu membenci orang
Yang dihukum dan dizalimi
Serta orang yang berselisih paham
39
Orang berilmu
Beribadah tanpa kenal waktu
Seluruh gerak hidupnya
Ialah beribadah
Diamnya, bicaranya
Dan tindak tanduknya
Malahan getaran bulu roma tubuhnya
Seluruh anggota badannya
Digerakkan untuk beribadah
Inilah kemauan murni
40
Kemauan itu, Wujil!
Lebih penting dari pikiran
Untuk diungkapkan dalam kata
Dan suara sangatlah sukar
Kemauan bertindak
Merupakan ungkapan pikiran
Niat melakukan perbuatan
Adalah ungkapan perbuatan
Melakukan shalat atau berbuat kejahatan
Keduanya buah dari kemauan
Di sini Sunan Bonang agaknya berpendapat bahwa kemauan atau kehendak (iradat) , yaitu niat dan iktiqad, mestilah diperbaiki sebelum seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan yang baik. Perbuatan yang baik datang dari kemauan baik, dan sebaliknya kehendak yang tidak baik melahirkan tindakan yang tidak baik pula. Apa yang dikatakan oleh Sunan Bonang dapat dirujuk pada pernyataan seorang penyair Melayu (anonim) dalam Syair Perahu, seperti berikut:
Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetulkan jalan tempat berpindah
Di sanalah iktiqad diperbaiki sudah
Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiada berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu
Hai muda arif budiman
Hasilkan kemudi dengan pedoman
Alat perahumu jua kerjakan
Itulah jalan membetuli insan
…
La ilaha illa Allah tempat mengintai
Medan yang qadim tempat berdamai
Wujud Allah terlalu bitai
Siang malam jangan bercerai
(Doorenbos 1933:33)
Tamsil Islam universal lain yang menonjol dalam Suluk Wujil ialah cermin beserta pasangannya gambar atau bayang-bayang yang terpantul dalam cermin, serta Mekkah. Para sufi biasa menggunakan tamsil cermin, misalnya Ibn `Arabi. Sufi abad ke-12 M dari Andalusia ini menggunakannya untuk menerangkan falsafahnya bahwa Yang Satu meletakkan cermin dalam hati manusia agar Dia dapat melihat sebagian dari gambaran Diri-Nya (kekayaan ilmu-Nya atau perbendaharaan-Nya yang tersembunyi) dalam ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Yang banyak di alam kejadian (alam al-khalq) merupakan gambar atau bayangan dari Pelaku Tunggal yang berada di tempat rahasia dekat cermin (Abu al-Ala Affifi 1964:15-7).
Pada pupuh atau bait ke-74 diceritakan Sunan Bonang menyuruh muridnya Ken Satpada mengambil cermin dan menaruhnya di pohon Wungu. Kemudian dia dan Wujil disuruh berdiri di muka cermin. Mereka menyaksikan dua bayangan dalam cermin. Kemudian Sunan Bonang menyuruh salah seorang dari mereka menjauh dari cermin, sehingga yang tampak hanya bayangan satu orang. Maka Sunan Bonang bertanya: ”Bagaimana bayang-bayang datang/Dan kemana dia menghilang?” (bait 81). Melalui contoh datang dan perginya bayangan dari cermin, Wujil kini tahu bahwa ”Dalam Ada terkandung tiada, dan dalam tiada terkandung ada” Sang Guru membenarkan jawaban sang murid. Lantas Sunan Bonang menerangkan aspek nafi (penidakan) dan isbat (pengiyaan) yang terkandung dalam kalimah La ilaha illa Allah (Tiada tuhan selain Allah). Yang dinafikan ialah selain dari Allah, dan yang diisbatkan sebagai satu-satunya Tuhan ialah Allah.
Pada bait atau pupuh 91-95 diceritakan perjalanan seorang ahli tasawuf ke pusat renungan yang bernama Mekkah, yang di dalamnya terdapat rumah Tuhan atau Baitullah. Mekkah yang dimaksud di sini bukan semata Mekkah di bumi, tetapi Mekkah spiritual yang bersifat metafisik. Ka’bah yang ada di dalamnya merupakan tamsil bagi kalbu orang yang imannya telah kokoh. Abdullah Anshari, sufi abad ke-12 M, misalnya berpandapat bahwa Ka’bah yang di Mekkah, Hejaz, dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s. Sedangkan Ka’bah dalam kalbu insan dibangun oleh Tuhan sebagai pusat perenungan terhadap keesaan Wujud-Nya (Rizvi 1978:78).
Sufi Persia lain abad ke-11 M, Ali Utsman al-Hujwiri dalam kitabnya menyatakan bahwa rumah Tuhan itu ada dalam pusat perenungan orang yang telah mencapai musyahadah. Kalau seluruh alam semesta bukan tempat pertemuan manusia dengan Tuhan, dan juga bukan tempat manusia menikmati hiburan berupa kedekatan dengan Tuhan, maka tidak ada orang yang mengetahui makna cinta ilahi. Tetapi apabila orang memiliki penglihatan batin, maka seluruh alam semesta ini akan merupakan tempat sucinya atau rumah Tuhan. Langkah sufi sejati sebenarnya merupakan tamsil perjalanan menuju Mekkah. Tujuan perjalanan itu bukan tempat suci itu sendiri, tetapi perenungan keesaan Tuhan (musyahadah), dan perenungan dilakukan disebabkan kerinduan yang mendalam dan luluhnya diri seseorang (fana’) dalam cinta tanpa akhir (Kasyful Mahjub 293-5).
Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah dipahami apabila dalam Suluk Wujil dikatakan, “Tidak ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki itu berada, sekalipun mereka melakukan perjalanan sejak muda sehingga tua renta. Mereka tidak akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal ilmu yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah itu akan menjadi seorang wali. Tetapi ilmu semacam itu diliputi rahasia dan sukar diperoleh. Bekalnya bukan uang dan kekayaan, tetapi keberanian dan kesanggupan untuk mati dan berjihad lahir batin, serta memiliki kehalusan budi pekerti dan menjauhi kesenangan duniawi.
Di dalam masjid di Mekkah itu terdapat singgasana Tuhan, yang berada di tengah-tengah. Singgasana ini menggantung di atas tanpa tali. Dan jika orang melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di atasnya. Jika orang melihat ke barat, ia akan melihat timur, dan jika melihat timur ia akan menyaksikan barat. Di situ pemandangan terbalik. Jika orang melihat ke selatan yang tampak ialah utara, sangat indah pemandangannya. Dan jika ia melihat ke utara akan tampak selatan, gemerlapan seperti ekor burung merak. Apabila satu orang shalat di sana, maka hanya ada ruangan untuk satu orang saja. Jika ada dua atau tiga orang shalat, maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang. Apabila ada 10.000 orang melakukan shalat di sana, maka Ka`bah dapat menampung mereka semua. Bahkan seandainya seluruh dunia dimasukkan ke dalamnya, seluruh dunia pun akan tertampung juga”.
Wujil menjadi tenang setelah mendengarkan pitutur gurunya. Akan tetapi dia tetap merasa asing dengan lingkungan kehidupan keagamaan yang dijumpainya di Bonang.
Berbeda dengan di Majapahit dahulu, untuk mencapai rahasia Yang Satu orang harus melakukan tapa brata dan yoga, pergi jauh ke hutan, menyepi dan melakukan kekerasan ragawi. Di Pesantren Bonang kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Shalat fardu lima waktu dijalankan dengan tertib. Majlis-majlis untuk membicarakan pengalaman kerohanian dan penghayatan keagamaan senantiasa diadakan. Di sela-sela itu para santri mengerjakan pekerjaan sehari-hari, di samping mengadakan pentas-pentas seni dan pembacaan tembang Sunan Bonang menjelaskan bahwa seperti ibadat dalam agama Hindu yang dilakukan secara lahir dan batin, demikian juga di dalam Islam. Malahan di dalam agama Islam, ibadat ini diatur dengan jelas di dalam syariat. Bedanya di dalam Islam kewajiban-kewajiban agama tidak hanya dilakukan oleh ulama dan pendeta, tetapi oleh seluruh pemeluk agama Islam. Sunan bonang mengajarkan tentang egaliterianissme dalam Islam. Sunan bonang mengajarkan tentang egaliterisme di dalam Islam. Jika ibadat zahir dilakukan dengan mengerjakan rukun Islam yang lima, ibadat batin ditempuh melalui tariqat atau ilmu suluk, dengan memperbanyak ibadah seperti sembahyang sunnah, tahajud, taubat nasuha, wirid dan zikir. Zikir berarti mengingat Tuhan tanpa henti. Di antara cara berzikir itu ialah dengan mengucapkan kalimah La ilaha illa Allah. Di dalamnya terkandung rahasia keesaan Tuhan, alam semesta dan kejadian manusia.
Berbeda dengan dalam agama Hindu, di dalam agama Islam disiplin kerohanian dan ibadah dapat dilakukan di tengah keramaian, sebab perkara yang bersifat transendental tidak terpisah dari perkara yang bersifat kemasyarakatan. Di dalam agama Islam tidak ada garis pemisah yang tegas antara dimensi transendental dan dimensi sosial. Dikatakan pula bahwa manusia terdiri daripada tiga hal yang pemiliknya berbeda. Jasmaninya milik ulat dan cacing, rohnya milik Tuhan dan milik manusia itu sendiri hanyalah amal pebuatannya di dunia.
Falsafah Wayang
Tamsil paling menonjol yang dekat dengan budaya lokal ialah wayang dan lakon perang Bala Kurawa dan Pandawa yang sering dipertunjukkan dalam pagelaran wayang.. Penyair-penyair sufi Arab dan Persia seperti Fariduddin `Attar dan Ibn Fariedh menggunakan tamsil wayang untuk menggambarkan persatuan mistis yang dicapai seorang ahli makrifat dengan Tuhannya. Pada abad ke-11 dan 12 M di Persia pertunjukan wayang Cina memang sangat populer (Abdul Hadi W.M. 1999:153). Makna simbolik wayang dan layar tempat wayang dipertunjukkan, berkaitan pula dengan bayang-bayang dan cermin. Dengan menggunakan tamsil wayang dalam suluknya Sunan Bonang seakan-akan ingin mengatakan kepada pembacanya bahwa apa yang dilakukan melalui karyanya merupakan kelanjutan dari tradisi sastra sebelumnya, meskipun terdapat pembaharuan di dalamnya.
Ketika ditanya oleh Sunan Kalijaga mengenai falsafah yang dikandung pertunjukan wayang dan hubungannya dengan ajaran tasawuf, Sunang Bonang menunjukkan kisah Baratayudha (Perang Barata), perang besar antara Kurawa dan Pandawa. Di dalam pertunjukkan wayang kulit Kurawa diletakkan di sebelah kiri, mewakili golongan kiri. Sedangkan Pandawa di sebelah kanan layar mewakili golongan kanan. Kurawa mewakili nafi dan Pandawa mewakili isbat. Perang Nafi Isbat juga berlangsung dalam jiwa manusia dan disebut jihad besar. Jihad besar dilakukan untuk mencapai pencerahan dan pembebasan dari kungkungan dunia material.
Sunan Bonang berkata kepada Wujil: “Ketahuilah Wujil, bahwa pemahaman yang sempruna dapat dikiaskan dengan makna hakiki pertunjukan Wayang. Manusia sempurna menggunakan ini untuk memahami dan mengenal Yang. Dalang dan wayang ditempatkan sebagai lambang dari tajalli (pengejawantahan ilmu) Yang Maha Agung di alam kepelbagaian. Inilah maknanya: Layar atau kelir merupakan alam inderawi. Wayang di sebelah kanan dan kiri merupakan makhluq ilahi. Batang pokok pisang tempat wayang diletakkan ialah tanah tempat berpijak. Blencong atau lampu minyak adalah nyala hidup. Gamelan memberi irama dan keselarasan bagi segala kejadian. Ciptaan Tuhan tumbuh tak tehitung. Bagi mereka yang tidak mendapat tuntunan ilahi ciptaan yang banyak itu akan merupakan tabir yang menghalangi penglihatannya. Mereka akan berhenti pada wujud zahir. Pandangannya kabur dan kacau. Dia hilang di dalam ketiadaan, karena tidak melihat hakekat di sebalik ciptaan itu.”
Selanjutnya kata Sunan Bonang “Suratan segala ciptaan ini ialah menumbuhkan rasa cinta dan kasih. Ini merupakan suratan hati, perwujudan kuasa-kehendak yang mirip dengan-Nya, walaupun kita pergi ke Timur-Barat, Utara-Selatan atau atas ke bawah. Demikianlah kehidupan di dunia ini merupakan kesatuan Jagad besar dan Jagad kecil. Seperti wayang sajalah wujud kita ini. Segala tindakan, tingkah laku dan gerak gerik kita sebenarnya secara diam-diam digerakkan oleh Sang Dalang.”
Mendengar itu Wujil kini paham. Dia menyadari bahwa di dalam dasar-dasarnya yang hakiki terdapat persamaan antara mistisisme Hindu dan tasawuf Islam. Di dalam Kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, penyair Jawa Kuno abad ke-12 dari Kediri, falsafah wayang juga dikemukakan. Mpu Kanwa menuturkan bahwa ketika dunia mengalami kekacauan akibat perbuatan raksasa Niwatakawaca, dewa-dewa bersidang dan memilih Arjuna sebagai kesatria yang pantas dijadikan pahlawan menentang Niwatakawaca. Batara Guru turun ke dunia menjelma seorang pendeta tua dan menemui Arujuna yang baru saja selesai menjalankan tapabrata di Gunung Indrakila sehingga mencapai kelepasan (moksa)
Di dalam wejangannya Batara guru berkata kepada Arjuna: “Sesunguhnya jikalau direnungkan baik-baik, hidup di dunia ini seperti permainan belaka. Ia serupa sandiwara. Orang mencari kesenangan, kebahagiaan, namun hanya kesengsaraan yang didapat. Memang sangat sukar memanfaatkan lima indra kita. Manusia senantiasa tergoda oleh kegiatan indranya dan akibatnya susah. Manusia tidak akan mengenal diri peribadinya jika buta oleh kekuasaan, hawa nafsu dan kesenangan sensual dan duniawi. Seperti orang melihat pertunjukan wayang ia ditimpa perasaan sedih dan menangis tersedu-sedu. Itulah sikap orang yang tidak dewasa jiwanya. Dia tahu benar bahwa wayang hanya merupakan sehelai kulit yang diukir, yang digerak-gerakkan oleh dalang dan dibuat seperti berbicara. Inilah kias seseorang yang terikat pada kesenangan indrawi. Betapa besar kebodohannya.” (Abdullah Ciptoprawiro 1984)
Selanjutnya Batara Guru berkata, “Demikianlah Arjuna! Sebenarnya dunia ini adalah maya. Semua ini sebenarnya dunia peri dan mambang, dunia bayang-bayang! Kau harus mampu melihat Yang Satu di balik alam maya yang dipenuhi bayang-bayang ini.” Arjuna mengerti. Kemudian dia bersujud di hadapan Yang Satu, menyerahkan diri, diam dalam hening. Baru setelah mengheningkan cipta atau tafakur dia merasakan kehadiran Yang Tunggal dalam batinnya. . Kata Arjuna:
Sang Batara memancar ke dalam segala sesuatu
Menjadi hakekat seluruh Ada, sukar dijangkau
Bersemayam di dalam Ada dan Tiada,
Di dalam yang besar dan yang kecil, yang baik dan yang jahat
Penyebab alam semesta, pencipta dan pemusnah
Sang Sangkan Paran (Asal-usul) jagad raya
Bersifat Ada dan Tiada, zakhir dan batin
(Ibid)
Demikianlah, dengan menggunakan tamsil wayang, Sunan Bonang berhasil meyakinkan Wujil bahwa peralihan dari zaman Hindu ke zaman Islam bukanlah suatu lompatan mendadak bagi kehidupan orang Jawa. Setidak-tidaknya secara spiritual terdapat kesinambungan yang menjamin tidak terjadi kegoncangan.
Memang secara lahir kedua agama
tersebut menunjukkan perbedaan besar, tetapi seorang arif harus tembus pandang
dan mampu melihat hakikat sehingga penglihatan kalbunya tercerahkan dan jiwanya
terbebaskan dari kungkungan dunia benda dan bentuk-bentuk. Itulah inti ajaran
Sunan Bonang dalam Suluk Wujil.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
original post by Dr.Abdul Hadi W. M. ( Sastrawan-Budayawan, Dosen ICAS-Jakarta, Universitas Paramadina & Univ.Indonesia )
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
original post by Dr.Abdul Hadi W. M. ( Sastrawan-Budayawan, Dosen ICAS-Jakarta, Universitas Paramadina & Univ.Indonesia )