Sunday, November 17, 2013

MAUNYA BERDZIKIR, TERNYATA JIN YANG DIDAPAT

Oleh : pak Agus Balung





Wiridan sih sah-sah saja. Bahkan wirid sendiri sangat dianjurkan dalam Islam. tentunya, selama hal itu tidak bertentangan dengan ajaran Rasulullah. Lain halnya bila wiridan itu diembel-embeli dengan puasa beberapa hari atau ritual tertentu lainnya. Bukan apa-apa. Maksud hati ingin memperoleh ketenangan batin, tapi yang didapat justru sebaliknya. Diikuti oleh jin yang mengaku sebagai “khadam”. Istilah lain untuk pembantu atau pelayan dari bangsa jin. Inilah kenyataan yang dialami oleh Firmansyah (23 tahun), pemuda asli Betawi. Pemuda ini mengkisahkan pengalamannya kepada kami, di rumahnya Menteng, Jakarta Selatan.



Sewaktu sekolah Aliyah dulu, sekitar tahun 1996, saya mengalami suatu peristiwa yang membawa saya ke dalam pengembaraan panjang. Sebagai seorang pemuda yang bergelut dengan dunia jin melalui wiridan.

Peritiwanya terjadi pada suatu pagi yang cerah, saat saya sholat dhuha di masiid tua di daerah Kuningan. Saat itu, di dalam masjid tidak ada orang lain, hanya saya seorang diri. Kemudian mucul keinginan untuk belajar pidato. Maka dengan tenang layaknya seorang ustadz, saya melangkah ke mimbar. Lalu duduk sejenak di kursi. Saya raih tongkat yang ada kemudian bergaya seperti seorang khothib. Dan secara perlahan meski sedikit gemetar, saya latihan khutbah, “Alhamdulillah. Alhamdulillahilladzi ...”

Nah, satu minggu setelah kejadian itu saya merasakan kehadiran seseorang yang tidak terlihat. Saya juga suka ngomong sendiri. Kalau di kelas badan terasa lemas dan tidak bergairah. Untuk menjawab soal pun terasa agak sulit. Selain itu, saya juga mudah kesurupan. Misalnya, ketika sedang mengikuti pengajian di sebuah masiid, tiba-tiba badan saya merinding. Merasa seperti itu, saya segera pulang. Begitu tiba di rumah saya langsung berteriak, “Hua ha ha ...” Saya kesurupan. Kemudian bapak membaca ayat kursi, tapi jinnya tidak merasa apa-apa. Sepuluh menit kemudian jinnya itu pergi begitu saia.

Kesurupan ini seakan menjadi bagian dari hidup saya. Karena bisa dipastikan hampir tiap minggu saya selalu kesurupan. Kalau cuma sekali dua kali mungkin tidak terlalu masalah tapi bila berlangsung hingga satu tahun. Tentu sangat berat bagi saya. Akibatnya saya selalu hidup dalam ketakutan dan tidak punya gairah hidup.

Keadaan saya ini, ternyata tidak luput dari perhatian guru-guru. Hingga guru sosiologi menghampiri, “Kenapa kok lemes terus?” Akhirnya saya disuruh ke rumahnya. “Sepertinya ada yang aneh dalam dirimu” komentarnya setelah menuangkan minuman ke gelas. “Saya tidak tahu, Pak.” Kemudian saya ceritakan apa yang saya alami. Dari tatapan matanya saya tahu bahwa ia berempati kepada saya. Kemudian dengan bijak ia banyak menasehati dan mengajarkan beberapa amalan yang katanya bisa mengurangi beban saya.

Saya disuruh membaca Al-Fatihah untuk nabi Muhammmad, para wali dan para orang-orang tua saya. Kemudian membaca shalawat seratus kali dan Ya Lathif seratus kali. Lalu berdoa, “Ya Allah. Dengan kekuatan sayidina Umar berilah saya kekuatannya.”

Saya gembira sekali hari itu. Dan bertekad untuk mengamalkannya agar rasa takut itu hilang dan kembali bersemangat. Tapi ketika saya mengamalkan wiridan itu di rumah, saya terkejut. Kok saya teriak-teriak terus, “Hoh hoh hoh” badan saya menggigil dan gemetaran. Meski demikian saya terus saja membaca wiridan itu. Hasilnfa baru terasa seminggu kemudian. Ya, saya mulai tenang.

Sudah agak lama saya tidak kesurupan, hingga akhirnya jin itu datang lagi. Peristiwanya kali ini terjadi di rumah sakit. Saat saya terkena penyakit typus dan sudah stadium tiga. Walau itu sudah seminggu saya tidak shalat, harus terbaring lemah di atas ranjang dan tidak bisa berdiri. Tapi tiba-tiba saya bisa berdiri tegak kemudian berjalan dengan cepat. Hingga para pasien dan keluarganya keheranan. Tak lama kemudian, saya berbicara keras dengan suara bergetar. Tapi suaranya itu bukan suara saya sendiri “Saya mau shalat. Anak ini sudah meninggalkan shalat berhari-hari. Dia harus shalat sekarang.” Kemudian jin yang merasuki tubuh saya itu berceramah, sambil sesekali menepuk dada. Melihat itu, orang-orang pada ribut dan akhirnya membiarkan saya shalat. Ulah jin yang merasuki saya itu tidak berhenti sampai disini. la ingin membawa saya melompat dan terjun dari rumah sakit bertingkat itu. “Saya mau terjun. Saya tidak kuat di sini. Saya mau pulang” sampai banyak suster yang mau saya cekik.

Melihat itu, bapak berteriak. “Siapa kamu?” “Saya adalah syaikh Abdul Jabbar. Ha ha ha, saya selama ini yang mengikuti dia. Dan saya dihalangi khadam buyutnya. Saya tonjok mereka hingga babak belur. Saya adalah raja jin yang terkuat,” jawab jin yang merasuki saya.

Akhirnya pihak rumah sakit mengizinkan saya dibawa pulang. Namun, di tengah jalan mobil yang saya tumpangi mogok. Bapak saya menduga karburatornya yang rusak. Tapi setelah dibuka “cross” airnya muncrat ke muka bapak. Ketika sampai di rumah, saya melihat rumah yang selebar enam meter itu sepertinya kecil. Seakan hanya beberapa puluh senti saja. Kemudian saya tidak bisa tidur hingga beberapa hari.



Jin Abdul Jabbar keluar masuk tubuh

Dalam kondisi demikian, ada seorang teman yang menjenguk sambil membawa katanya “air wali”. Setelah dia meminumnya sedikit ia kemudian menyemprotkannya kembali ke badan saya. “Panaas” teriak jin yang merasuki saya. “Kamu belajar sama siapa?” Tanya jin. “Sama habib,” jawab teman saya. “Oh, bagus, bagus teruskan saja belajarmu.” Seolah jin itu menasehatinya. Kemudian teman saya membaca “Ya Allah, Ya Rahman … sampai kepada Ya Jabbar.” Kemudian jin tertawa terbahak-bahak, “Ha ha ha. ltu nama saya. Kamu bacakan apa saja, pasti tidak mempan karena saya jin lslam. Saya hafal 30 juz.” Setelah merasa tidak marnpu mengobati,saya, akhirnya teman saya itu pulang.

Dua hari kemudian, di pagi yang cerah saya dibawa ke rumah habib. Tapi anehnya habib itu sudah ada di depan rumah. Seolah dia sudah menunggu kedatangan saya. Pas ketika saya masih berdiri terpaku di depan rumahnya, “sreet” saya merusakan ada sesuatu yang keluar dari tubuh saya. Kemudian bapak ngobrol agak lama dengan habib. Dan setelah meminum air dari habib, kami segera pulang. Tapi, hanya beberapa menit istirahat di rumah, saya kesurupan lagi. Jin Abdul Jabbar itu datang lagi. Katanya dia takut sama habib itu dan sempat keluar.

Keesokan malamnya, sehabis shalat maghrib saya diantar seorang tetangga ke Cibinong untuk bertemu dengan seorang kiyai. Aneh, setelah keluar dari tol, sopir itu tidak lagi tahu arah. Berkali-kali ia bertanya, namun tetap tidak tahu arah. Sementara di luar, cuaca gelap, langit tak berbintang. Disertai dengan hembusan angin kencang yang terus mendesing di telinga, seakan hujan akan turun dengan lebatnya. Saat saya melihat ke arloji, ternyata sudah pukul 10 malam. Tak lama kemudian, lnnalillah, mobil itu mogok di perkebunan dan tidak bisa dihidupkan lagi, lalu saya kesurupan lagi, “Ha ha ha. Saya mogokin mobilnya.” Akhirnya kita berlima jalan kaki, walau hawa dingin terasa menusuk tulang. Dan, setelah memperhatikan sekeliling beberapa saat, akhirnya sopir itu tahu bahwa kita sudah hampir sampai di rumah kiyai. Kira-kira hanya berjarak 300 meter.

Alhamdulillah, akhirnya sampai ke tempat tujuan juga, setelah tersesat beberapa jam. kira muat untuk sepuluh orang. Kamar itu beralaskan karpet plastik, dengan jendela dan pintu di belakangnya. Lalu bapak saya menyerahkan dua butir telur ayam kampung. Pak kiyai mengambilnya sebutir lalu memecahkan dan mencampurnya dengan minyak lulur, yang dipakai untuk pijat saya.

Selama pemijatan itu, terdengar suara pintu “Gubrak gubrak”, padahal pintu itu sudah ditutup tapi selanjutnya terbuka lalu tertutup lagi, begitu seterusnya. Tak lama kemudian saya mulai kesurupan “Ha ha. Akulah Abdul Jabbar. Saya dari zaman syaikh Abdul Qadir Jailani. Saya berumur 900 tahun. Saya senang anak ini karena dia rajin ibadah. Tapi saya juga benci, sebab dia dulu berani naik mimbar. Padahal mimbar itu bukan tempatnya. Yang berhak naik ke mimbar itu adalah orang-orang yang berilmu. Dan jangan permainkan tempat saya. Kalau tidak. Saya bunuh anak ini.” Tak lama kemudian saya tidak sadarkan diri. Dan, setelah sadar tahu-tahu pengobatan itu sudah selesai. Sejak saat itu jin Abdul Jabbar entah karena apa, tidak datang lagi. Walau sebenarnya jin itu masih bersarang di tubuh saya.



Wiridan…. yang Ternyata Penuh dengan Jin

Dua bulan kemudian, saat kelas 3 Aliyah saya mempelajari wiridan miftahul hizb. Wiridan-wiridan itu saya baca semua kemudian saya berdoa “Ya Allah, hamba mohon diberikan ilmu dhahir batin dan ditunjukkan jalan ilmunya Rasulullah.” Setelah mengamalkan wiridan ini setiap hari maka pada hari ke 13, 14 dan 15 saya berpuasa seperti puasa Ramadhan. Katanya wiridan ini tanpa menggunakan khadam dari jin. Katanyaa, ilmu yang dihasilkan dari wiridan ini berasal langsung dari kemukjizatan Rasulullah. Mendengar penjelasan yang demikian – waktu itu – saya percaya begitu saja.

Hasil pengamalan wiridan ini, diluar dugaan saya.Yang dulunya saya sering kesurupan, tapi sekarang berbalik. Saya bisa mengobati orang kesurupan. Selain itu, saya juga bisa menerawang. Ya, saya bisa menebak watak seseorang yang belum saya kenal sama sekali. Suatu hari saya bertemu seseorang kemudian saya menerawang dia, “Kamu orangnya pemarah, egois. Kamu juga sedang menghadapi masalah.” Dia bingung, “Lho kok kamu tahu gitu.” “Ya saya tahu saja. Kamu bermasalah dengan atasan kamu, kan?” kata saya lagi. Akhirnya dia makin terpana dan semakin tertarik dengan terawangan saya. Kemudian saya menerawang temannya, “Orangnya putih, hidungnya mancung dan rambutnya agak ikal.” “Lho kok kamu tahu!” Teman baru saya itu semakin terbengong-bengong. Sebenarnya semua yang saya katakan itu tergambar dengan jelas dipikiran saya begitu saja.

Pada kesempatan lain, ada seorang tetangga yang kehilangan burung. Akhirnya dia beranya kepada saya. Dan dengan reflek tangan saya bergerak, “Seeet”. “Tuh burungnya ada di situ.” Tangan saya menunjuk ke arah tertentu. Akhirnya tetangga itu menyebutkan nama satu persatu. “Namanya si Arman.” “Bukan” kata saya sambil tangan saya mengisyaratkan tidak benar. “Namanya si Atong” katanya lagi. “lya, benar itu dia.” Akhirnya burungnya dicari dan ketemu. Betapa malunya si pencuri yang ketangkap basah itu. Tapi anehnya keesokan harinya saya kehilangan motor. Kemudian saya coba menerawang dengan ilmu saya. Saya tunjuk ini dan itu. Tapi tidak bisa menemukan motor itu hingga sekarang.

Rupanya keahlian saya itu, mengantarkan bapak dan adik untuk mempelajari ilmu sejenis. Meski mereka belajar dari guru yang berbeda. Nah, untuk membuktikan ilmu perguruan mana yang lebih hebat, akhirnya saya dan bapak sepakat untuk diadakan uji kekuatan. Tempatnya di rumah saya. Saat itu, ada tiga orang yang mengetes saya. Setelah pasang kuda-kuda kemudian saya dipukul. Ternyata pukulan itu mengenai wajah saya dan tidak bisa saya elakkan. Padahal sebelumnya saya bisa menghindari dan mementalkan pukulan siapa saja. Saya belum menyerah. Dan dilakukan pengujian ulang. Saya bertahan dengan cara lain, tapi saya tetap kena pukulan. Akhirnya saya mengaku kalah dan berguru dengan mereka, untuk mempelajari ilmu Karamah. Peristiwa ini terjadi pada tahun pertama ketika saya kuliah di UlN.

Sebelum dibaiat atas keberhasilan mempelajari ilmu Karamah, saya disuruh puasa tiga hari dan membaca wiridan juga selama tiga hari, “Ya Allah. Ya Rasulullah. Ya Syaikh Abdul Qadir Jailani disuhunkeun karamahna ku abdi gusti suryajana negara (Ya Allah. Ya Rasulullah. Ya Syaikh Abdul Qadir Jailani dimintakan karamahnya kepada saya gusti suryajana negara) la haula wala quwata illa billahil ‘aliyil adhim” kemudian di test. Orang yang memukul gaya itu terpental semua.

Setelah mengamalkan wiridan ini, saya merasakan adanya perubahan. Orang jadi takut sama saya. Sebaliknya, saya menjadi lebih berani. Pernah saya terjebak tawuran pelajar. Ketika saya ditimpuk dengan batu, tiba-tiba batu itu terpental sendiri sebelum mengenai saya. Akhirnya para pelajar itu kabur, ketakutan. Kondektur bis juga takut. Saya pernah marah dengan kondektur. Hanya gara-gara kurang ongkos. Waktu itu tarif bus untuk mahasiswa hanya seratus sementara penumpang umum membayar limaratus. Kebetulan, saya membayar tigaratus. Tapi, kondektur bis itu tidak percaya. “Kalau kamu mahasiswa bayar seratus juga saya terima,” kata kondektur itu. “Ya sudah kalau berani sini,” saya menantangnya. Ketika sudah dekat, dia ketakutan. Sepertinya dia melihat sesuatu yang menakutkan.

Selain ilmu di atas, saya juga mempelajari dua ilmu lainya. Yang pertama adalah ilmu kebal dan yang kedua wirid Sakran. Saya tidak tahu, mengapa saya seperti haus berbagai macam jenis ilmu. Sehingga saya sering berguru dari satu tempat ke tempat lainnya. Misalnya, saat itu saya juga belajar wirid sakran. Wiridan itu diamalkan setiap selesai shalat wajib selama tujuh minggu dan puasa Senin-Kamis selama tujuh minggu juga. Dengan niat “Aku niat puasa sunnah karena Allah untuk amalan wirid syaikh Habib Ali Abu Bakar As-Sakran.”

Sesudah seluruh ritual dalam tujuh minggu itu selesai, malamnya saya bermimpi sampai dua kali. Mimpi pertama adalah mimpi basah. Dan setelah bangun kemudian tidur kembali saya bermimpi berada di sebuah masjid yang besar di wilayah Tarim, salah satu daerah di Hadhramaut, Yaman. Di dalam masjid itu saya bertemu dengan orangtua. Yang memperkenalkan dirinya sebagai Habib Muhammad bin Abdul Rahman Assegaf. Kemudian ia menuntun saya berdoa di samping makam habib Ali bin Abu Bakar As-Sakran.

Beberapa hari kemudian, saya ceritakan mimpi itu kepada guru. Katanya mimpi itu menjadi wangsit bahwa wiridan saya sudah disahkan. Selang beberapa hari kemudian, ketika sedang berbaring di tempat tidur, tiba-tiba saya mendengar suara yang tidak saya ketahui darimana sumbernya, “Assalaamu’alaikum. Sekarang tuan adalah majikan saya. Dan saya adalah khadam tuan.”

Beberapa hari berikutnya saya sering kesurupan setelah tarawih di mushola. Di tengah kerumunan jamaah laki-laki. “Assalaamu’alaikum. Kenalkan nama saya Abdul Lathif.” Anehnya banyak jamaah yang bahkan menjadikan iin yang merasuk ke tubuh saya sebagai teman bercanda. “Namanya siapa ki?” Tanya sebagian jamaah. “Nama saya Abdul Lathif. Saya dari Baghdad. Saya khadamnya Firmansyah.” Terus banyak yang minta macam-macam. “Saya minta jodoh dong?” pinta seorang dari mereka. “Lu, yang cocok sama lu orangnya yang pendek,” kata Abdul Lathif melalui mulut saya. Mendengar jawaban itu, sontak jamaah tertawa terpingkal-pingkal.

“Saya minta nomer togel nih,” Tapi jin itu langsung menggerakkan tangan saya untuk mengambil buah dan melempar yang meminta, “Maksiat nanya-nanya sama gue,” kata jin Abdul Lathif.

Pernah iuga iin yang merasuk ke tubuh saya itu mengambil kopi dan meminumnya, “Nih, air bekas saya ini berkah” tak tahunya jamaah yang berada di sekitar saya langsung berebut meminum kopi itu. Peristiwa seperti ini teriadi sekitar sepuluh kali selama Ramadhan. Dan waktunya selalu setelah tarawih. Sebelum pergi jin itu pamitan dulu, “Sudah tidak ada pertu lagi dengan saya? Saya pergi dulu ya. Assalaamu’alaikum”. Setelah peristiwa demi peristiwa itu, akhirnya banyak yang konsultasi dengan saya. Dan, untuk menjawabnya, saya gabungkan saja berbagai keilmuan yang saya miliki.

Sehabis Ramadhan, jin Abdul Lathif masih sering merasuk ke tubuh saya. Bahkan saat saya sedang mengajar anak-anak remaia. Disini dia mulai mengisi anak-anak remaja itu. “Ki, saya sering lewat daerah-daerah tawuran. Minta penjagaan dong?” pinta seorang anak. “Ya, sini! Kamu baca “Asyhadu alla ilaha ilallah, . Asyhadu anna Muhammadar rasulullah. La haula wala quwwata ila billah.” lalu ia menjabat tangan anak yang diberi ilmu. Pada mulanya, jin Abdul Lathif baru datang setelah saya panggil. Dengan membaca Al-Fatihah untuk nabi. Kemudian shalawat untuk habib yang menciptakan wiridan ini. Setelah itu, saya memanggil “Ya Lathif” sambil menjejak bumi tiga kali. Setelah itu lin Abdul Lathif datang dan merasuk ke tubuh saya. Tapi lama kelamaan kedatangannya tidak lagi bisa saya kendalikan.



Awal Datangnya Hidayah.

Aktifitas di pengaiian anak remaja, terus menggiring saya untuk berkenalan dengan beberapa aktifis dakwah lainnya. Nah, dari sini saya sering tukar pengalaman dan berbagi cerita. Sejujurnya, saya katakan pada mereka bahwa saya punya ilmu-ilmu teftentu. Yang waktu itu, saya menyebutnya llmu kemukjizaan. Saya juga punya khadam dari jin dan menurut pendapat saya meminta bantuan jin juga tidak apa-apa. Pendapat saya ini dibantah oleh teman-teman. “Lho, itukan bacaan-bacaan lslami. Bacaan shalawat. Bacaan-bacaan Alquran,” saya mencoba beradu argumentasi. “Walaupun itu Asmaul Husna, tapi kalau itu buat kebal saya tidak percaya,” kata teman saya.

Seiring dengan semakin lama berinteraksi dengan mereka, saya merasa ada keanehan. Badan saya panas setiap hari. Saya juga sakit flu tidak henti-hentinya. Dan, setelah membaca artikel di majalah Ghoib, saya mulai meragukan kebenaran jalan yang saya tempuh selama ini.

Hal ini semakin diperparah dengan situasi rumah tangga yang sedikit mengalami goncangan. Dari sini saya mulai tidak yakin akan kebenaran ilmu saya. Akhirnya saya pergi ke Majalah Ghoib. Saat tiba di kantor Majalah Ghoib, saya merasa takut sekali. Kepala saya bergetar tanpa dapat saya kendalikan. Tidak seperti biasanya. Kemudian saya diterapi Ustadz Ahmad Junaidi. Saat itulah jin yang bersarang di tubuh saya dikeluarkan. Pada ruqyah pertama saja, kata ustadz Junaidi ada sekitar sepuluh jin yang keluar, tentu menurut pengakuan jin itu. Ada jin Abdul Jabbar, jin Konghuchu, jin Kristen, jin Budha dan yang paling bandel keluarnya adalah jin Abdul Lathif.

Ketika jin Abdul Lathif diruqyah ia berbicara dengan ustadz Junaidi dengan bahasa Arab. “Saya dari Baghdad. Cuma saya lama di Surabaya,” katanya. “Kenapa kamu masuk ke orang ini?” tanya ustadz Junaidi. “Siapa suruh. Yang baca wiridan itu dia. Ya, saya masuk. Kalau wiridan itu tidak dibaca, saya tidak masuk,” kata jin Abdul Lathif lagi. “Berarti kamu telah sesat dan menyesatkan” bentak ustadz Junaidi. Mendengar bentakan itu, jin Abdul Lathif hanya bisa diam. Kemudian jin itu berdoa seraya meminta pertolongan kepada Ali. “Ya Ali. Anqidzni (lolonglah aku).” “Jin, doamu ini syirik,” kata ustadz Junaidi. “Saya kan tawasul, ustadz,” ujar jin itu mempertahankan diri.

“Tawasul dengan dzat selain Allah itu berarti syirik,” kata ustadz Junaidi. “Tidak. lni tidak syirik. Saya berpegang teguh dengan manhaj Zainal Abidin,” kata jin Abdul Lathif masih membandel. Dia susah dikeluarkan. Karena badan saya sudah kecapekan, akhirnya ruqyah hari itu diakhiri juga. Meski sebenarnya saya masih merasa bahwa jin Abdul Lathif itu belum bisa dikeluarkan. Karena itu ustadz Junaidi menyuruh saya untuk datang lagi minggu depan. Disamping itu says dianjurkan untuk terus berdzikir dan melakukan terapi ruqyah secara mandiri.

Alhamdulillah setelah terapi ruqyah yang keenam, sekarang sqra sudah baik kembali tinggal sedikit pusing di kepala bagian belakang.

Begitulah sepenggal kisah yang saya yakin banyak dialami oleh orang lain, bergelut dengan dunia jin tanpa disadarinya. Atau bahkan sebagian orang menganggap ini merupakan suatu kelebihan yang diberikan Allah. Namun, pada akhirnya saya harus mengakui bahwa pendapat yang demikian itu salah.

Saya berharap kisah ini dapat menjadi renungan tersendiri, bagi siapapun yang berkenan.

(Sumber : Ghoib Ruqyah)