Wednesday, September 9, 2015

Ilmu Ghaib Hanya Milik Allah



Ilmu Ghaib Hanya Milik Allah

Definisi Ghaib
Ar-Raghib Al-Asfahany berkata:“Apa saja yang lepas dari (jangkauan) indra dan pengetahuan manusia adalah ghaib.”
Al-Baji berkata:“Ghaib adalah apa yang tidak ada dan apa yang tidak tampak oleh manusia.” 

Hanya Allah yang Mengetahui
Ilmu ghaib adalah khusus milik Allah. Cukup banyak ayat-ayat dan hadits yang mengatakan tentang hal tersebut. Di dalam surat Al-An’am ayat 59, Allah berfirman:
” Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
” Kunci-kunci ghaib ada lima, tidak ada yang mengetahuinya selain Allah. Sesungguhnya di sisi Allah terdapat ilmu tentang kiamat, Dia menurunkan hujan, dan Dia mengetahui apa yang ada di dalam rahim. Tidak ada jiwa (manusia) yang mengetahui apa yang bakal ia peroleh (alami) besok. Dan tidak ada jiwa yang mengetahui di negeri mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Teliti. ” (HR. Al-Bukhari dan Ahmad dari Ibnu Umar, lafazhnya Ahmad) 

Aisyah berkata: “Barangsiapa menyangka bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa memberi tahu apa yang bakal terjadi besok pagi, maka ia benar-benar telah berdusta besar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala karena Allah telah berfirman: “Katakanlah: Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah.” (An-Naml : 65) 


Hukum Menyandarkan Ilmu Ghaib Kepada Makhluk 

Siapa yang mengklaim bahwa dirinya mengetahui salah satu dari kunci-kunci ghaib, maka ia kafir. Siapa yang mengatakan; “Besok pasti hujan,” ia adalah kafir, kecuali jika ia tidak memastikan dan mengandalkan kepada ilmu pengetahuan alam yang didasarkan kepada eksperimen atau hukum kebiasaan, maka ia tidak kafir. Seperti juga mengabarkan akan adanya gerhana berdasarkan ilmu hisab atau ilmu falak.
Ibnul Haj menukil kesepakatan ulama atas kafirnya orang yang mengatakan bahwa para wali mengetahui apa yang sudah terjadi dan apa yang akan terjadi sampai hari kiamat nanti. 


Bid’ah Rafidhah dan Shufiyah 

Imam Ibnu Qutaibah, penyambung lidah Ahlus Sunnah pada abad ketiga, telah menjelaskan kebid’ahan dan kekufuran orang yang menyandarkan ilmu ghaib kepada makhluk. Dalam risalah Al-Ikhtilaf fil Lafzhi , beliau berkata: “Rafidhah (syi’ah) telah keterlaluan di dalam mencintai Ali Radhiallahu anhu, mereka mengunggulkannya melebihi orang yang diunggulkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan oleh seluruh sahabatnya (termasuk oleh Ali Radhiallahu anhu sendiri). Mereka mengklaim bahwa Ali derajatnya sejajar dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kenabian. Mereka menganggap bahwa para imam dari anak-anaknya memiliki ilmu ghaib.” Ucapan tersebut disamping dusta dan kufur adalah kebodohan yang terlalu.
Kemudian bid’ah syi’ah ini menyebar ke kalangan shufiyah (orang tasawuf) karena eratnya hubungan dua kelompok tersebut, sehingga kita dapati orang-orang shufi meyakini bahwa termasuk karamah para wali adalah melihat Lauhul Mahfuzh dan membaca isinya. Sampai Asy-Sya’rani (tokoh shufi) mengatakan bahwa Muhyiddin Ibnu Arabiy (pelopor faham menyimpang yang disebut “wihdatul wujud” , yakni bersatunya Allah dengan alam/makhluq) diberi tahu oleh Allah perbedaan antara apa yang ditulis di Lauhul Mahfuzh dengan tulisan para makhluk. Dan Abdul Karim Al-Jiliy mengklaim bahwa dirinya telah dimi’rajkan dan berkumpul dengan seluruh para Nabi, wali dan malaikat dari berbagai macamnya dan dibukakan untuknya tabir ghaib sehingga mengetahui hakikat segala sesuatu dari sejak azal sampai kepada jaman yang tak bertepi. Sampai Yusuf An-Nabhani mengatakan: “Lauhul Mahfuzh adalah hati seorang arif, artinya hati orang yang ma’rifat itu bagaikan kaca cermin yang dihadapkan kepada Lauhul Mahfuzh, apa yang tertulis di Lauhul Mahfuzh bisa terekam di hati seorang arif.” 


Hanya Para Rasul yang Diberi Tahu 

Allah berfirman dalam surat Al-Jin ayat 26-27:
“(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihat-kan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada rasul yang diridlai-Nya.”
Orang-orang shufi demi mengesahkan kebid’ahannya, mereka berani menambah ayat (dalam tafsirnya), mereka mengatakan:
“Kecuali kepada rasul (yang diridhai-Nya) dan wali.”
Mengetahui perkara ghaib melalui jalan “Ithla’” khusus untuk para rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala berdasarkan firman Allah: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu ( hai orang-orang mukmin orang-orang mukmin) hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. ” (Ali Imran : 179) 


Ilham, Firasat dan Mimpi Para Wali 

Ilham dan mimpi para nabi adalah haq dan ma’shum (terjaga dari kesalahan), pasti benar. Hal tersebut adalah termasuk ilmu ghaib yang diberitahukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka.
Berbeda dengan para wali, ilham dan mimpi mereka tidak mutlak benar, tidak ma’shum, maka tidak disebut “ilmu ghaib” selama belum terbukti. Dan ketika terjadi hilanglah hukum ghaib darinya. Mimpi para wali yang kedudukannya lebih tinggi daripada ilham dan firasat itu ternyata dijadikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu bagian yang lemah dan kecil dari kenabian, hanya satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.
Adalah sebuah kesalahan jika yang bukan ma’shum disejajarkan dan disandingkan dengan para nabi yang ma’shum. Begitu pula jika menyamakan yang pasti benar dengan sesuatu yang belum tentu benar.
Tepat apa yang dikatakan oleh Asy-Syathibiy dalam kitab Al-Muwafaqat: “Jika seorang wali diperlihatkan sesuatu dari perkara ghaib, maka hal itu bukan berbentuk sebuah ilmu pasti dan keyakinan tanpa sangsi, akan tetapi bersifat penglihatan dan perkiraan biasa, maka jika terjadi sesuai dengan kenyataan, maka pemberitaan-nya setelah terjadinya kenyataan itu bukan lagi merupakan suatu perkara yang ghaib…
Jadi yang mengetahui ilmu ghaib hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan Dia memberitahukan sebagian perkara ghaib kepada rasul-Nya yang Dia kehendaki melalui wahyu yang sudah mutlak benar. Sekalipun demikian tidak boleh dikatakan bahwa para rasul itu mengetahui ilmu ghaib, apalagi para wali yang hanya diberi ilham atau mimpi yang belum mutlak kebenarannya itu.
(Abu Hamzah As-Sanuwi


Maraji’:
  • Risalah Asy-Syirku wa Madhahiruhu, Mubarak bin Muhammad Al-jiliy Al-Jazairi, hal. 126-136
  • Al-Fatawa Al-Haditsiyah, Ibnu Hajar Al-Haitamiy (311-313)
  • Tafsir Al-Qurthubi, 7/1-3
  • Mawaqif Ahlissunnah, Utsman Ali Hasan 59,71
  • Syawahidul Haq, Yusuf An-Nabhani, hal. 427, 428
  • Fathul Bari, Ibnu Hajar 8/291,514
  • Al-fikrush Shufi, Abd. Rahman Abd Kholiq 231 dan 632
  • Kifayatul At-Qiya wa Minhajul Asfiya’, As-Sayyid Bahri, hal. 27