Saturday, September 26, 2015

KONSEP PENGAMALAN GERAK FAQIR SUNAN KALIJAGA


Secara ringkasnya pengamalan Silat Gerak dan Kaedah Rawatan dalam Keilmuan Gerak Faqir Sunan Kalijaga bukan bergantung atau bersandar kepada kekuatan amalan atau keyakinan kepada kekuatan ayat-ayat yang di amalkan tetapi adalah sandaran hati yang kuat pergantungan kepada Nya.
Praktis kefahaman dalam Nafi dan Isbat yang di ucap di dalam Dua kalimah Syahadah di amalkan sepenuhnya dalam setiap amalan Gerak Silat dan amalan Perubatan yang sememangnya kaedah yang di warisi dari para Wali dan tentunya dari para Nabi Allah Azzawajalla.
Kaedah pengamalannya adalah berkonsepkan kaedah Mengenal Diri , “Barangsiapa mengenal dirinya, maka kenallah akan Tuhannya” Dan kaedah mengenal Allah Azzawajallah sepertimana di tuntunkan di dalam Kitab Ad Durun Nafis adalah :
I/ Meng Esakan Zat Nya
2/ Meng Esakan Sifat Nya
3/ Meng Esakan Asma’ Nya, dan
4/ Meng Esakan Af’al Nya.
(Huraian Kitab Ad Durun Nafis)
Tauhidul Af’al - (Ke-Esaan perbuatan)
Hendaklah anda ketahui bahwa segala apapun juga yang terjadi didalam alam ini pada hakekatnya adalah AF’AL (Perbuatan ) Allah s.w.t.
Yang terjadi didalam alam ini dapat digolongkan pada 2 (dua) golongan :
a) Baik pada bentuk (rupa) dan isi (hakekatnya) seperti Iman dan Taat.
b) Jelek pada bentuk (rupa) namun baik pada pengertian isi (hakekat)
seperti KUPUR dan MAKSIAT. Dikatakan ini jelek pada bentuk karena adanya ketentuan hukum/syara yang mengatakan demikian. Dikatakan baik pada pengertian isi (hakekat) karena hal itu adalah suatu ketentuan dan perbuatan dari Allah Yang Maha Baik.
Maka “Kaifiyat” (cara) untuk melakukan pandangan (Syuhud/musyahadah) sebagaimana dimaksudkan di atas ialah :
“Setiap apapun yang disaksikan oleh mata hendaklah di tanggapi oleh hati, bahwa semua itu adalah AF’AL (perbuatan) dari pada Allah s.w.t.”
Bila ada sementara anggapan tentang ikut sertanya “ yang lain pada Allah” di dalam proses kejadian sesuatu, maka hal tersebut tidak lain hanya dalam pengertian majazi (bayangan) bukan menurut pengertian hakiki.
Catatan :
Misalnya si A bekerja untuk mencari makan dan/atau memberi makan anak-anaknya. Maka si A tergolong dalam pengertian “yang lain dari pada Allah” dan juga dapat dianggap “ikut serta dalam proses” memberi makan anaknya. Fungsi si A dalam keterlibatannya ini hanya majaz(Bayangan) saja, bukan dalam arti hakiki. Karena menurut pengertian hakiki yang memberi makan dan minum pada hakekatnya ialah Allah, sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an S. As-Syu’ara ayat 79.
“DIALAH ALLAH YANG MEMBERI MAKAN DAN MINUM KEPADAKU”
Segala macam “perbuatan” (sikap atau laku) apakah perbuatan diri sendiri ataupun perbuatn yang terjadi diluar dirinya, adalah termasuk dalam 2 macam pengertian. Pengertian Pertama dinamakan MUBASYARAH dan pengertian ke dua dinamakan TAWALLUD. Kedua macam pengertian ini tidak terpisah satu sama lain.
Contohnya adalah sebagai berikut :
a) Gerakan Pena ditangan seorang penulis, ini dinamakan MUBASYARAH (terpadu) karena adanya “perpaduan” dua kemampuan kodrati yaitu kemampuan kodrati gerak tangan dan kemampuan kodrati gerak pena.
b) Gerakan batu yang lepas dari tangan pelempar. Hal ini dinamakan TAWALLUD (terlahir) karena lahirnya gerakan batu yang dilemparkan itu adalah kemampuan kodrati gerak tangan.
Namun pada hakekatnya kedua macam pengertian itu (Mubasyarah dan Tawallud) adalah af’al Allah s.w.t., didasarkan kepada dalil/nas Al Qur’an :
وﷲﺧﻠﻘﻜﻢوﻣﺎﺗﻌﻤﻠﯣن
(Wallahu Kholaqakum wa maa ta’maluun)
Artinya : Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu lakukan
Syekh Sulaiman Al Jazuli r.a. menyebutkan dalam syarah/penjelasan Kitab Dala-ilul Khairat bahwa apapun juga yang dilakukan oleh hamba, perkataan, tingkah laku, gerak dan diam, namun semua itu sudah lebih dahulu pada Ilmu, Qodo dan Qodar/Takdir Allah s.w.t.
Firman Allah di dalam Al Quran :
وﻣﺎرﻣﻴﺖإذ رﻣﻴﺖ وﻟﻜن ﷲرﱉ
(Wa ma ramaita idz ramaita walaakunnallahu ramaa)
Artinya : Tidaklah Engkau yang melempar (Hai Muhammad) tetapi Allah-lah yang melemparkan ketika Engkau melempar
ﻻﺣول وﻻﻗوۃ١ﻻﺑﺎﷲ١ﻟﻌﻠﻲ١ﻟﻌﻆﻴﻢ
(La haula wa la quwwata illaa Billahil’aliyyil azhiem)
Artinya : Tiada daya dan kekuatan melainkan dengan (daya dan kekuatan) Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung
ﻻﺗﺘﺤﺮك ذرۃإﻻﺑﺎءذنﷲ
Hadist Rasulullah s.a.w.
(La Tataharru dzarratun illaa bi idznillaahi)
Artinya : Tidak bergerak satu zarrah juapun melainkan atas izin Allah.
Penjelasan :
” “ﻻ” Lam Alif
Dalam Ayat dan Hadist Rasullah tersebut diatas terdapat Alif Lam yang dinamakan Alif Lam “Istigraqil Jinsiyah” yang artinya “La” (Tidak) atau (ketidak mampuan) mahluk dalam pengertian yang sebenar-benarnya, bukan pengertian majas yang bisa berubah ataupun diberi pengertian yang berbeda. Alif lam tersebut (Qadim) mutlak adalah hanya Allah yang Maha berkehendak, Maha memberi Gerak, Maha Berkuasa atas apapun, dalam artian, manusia atau mahluk tak dapat melakukan apapun, kecuali atas kehendak Allah atas mahluknya, jadi gerak dan diamnya seluruh mahluk dan alam semesta ini terlebih dahulu telah berada pada ketentuan Qadar/Qadanya Allah, maka sesungguhnya yang di maksud usaha ataupun ihktiar pada mahluk (manusia) tak lain adalah datangnya dari ketentuan Allah juga, bukan atas kehendak mahluk (manusia) nya itu sendiri.
Atas pandangan tersebut (musyahadah) inilah, maka Rasulullah s.a.w. tidak mendoakan kehancuran bagi kaumnya yang telah menyakiti Beliau.
Catatan :
Bermacam macam hinaan, cacian, bahkan siksaan yang dilancarkan oleh golongan Jahiliyah kepada Rasullullah s.a.w. namun beliau balas dengan doa
ﻟﻠﻬﻢ۱ﻫﺪﻗﻮﻣﻲٳﻧﻬﻢﻻﯾﻌﻠﻤﻮن
(Allahummah diiqaumi innahum la ya’lamuun)
Artinya : “Ya Allah, Tunjukilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui”
Apabila anda tetap selalu atas pandangan (Musyahadah) Tauhidul Af’al dengan penuh yakin (Tahkik) maka terlepaslah anda dari pada penyakit dan bahaya Syirik Khofi sebagaimana tersebut diatas.
Sehingga akhirnya anda dapat menyaksikan dengan jelas bahwa ygang berupa UJUD MAJASI (Ujud bayangan) ini lenyap dan hilang sirna, dengan nyatanya NUR UJUDULLAH yang hakiki.
Catatan :
Apalah artinya cahaya pelita yang dinyalakan disiang hari, dibandingkan dengan cahaya mentari yang cerah memancar.
Apabila secara terus menerus anda melati dengan pandangan/musyahadah demikian sedikit demi sedikit dengan tidak tercampur baur antara pandangan lahir dan pandangan batin, maka sampailah anda pada suatu “Maqom (Tingkatan)” yang dinamakan MAQOM WIHDATUL AF’AL.
Pada tingkatan ini, berarti Fana (lenyap) segala perbuatan mahluk-perbuatana anda sendiri ataupun perbuatan yang lain dari anda – karena “nyatanya” perbuatan Allah Yang Maha Hebat.
Jahat/jelek ataupun baik pada hakekatnya dari pada Allah.
Sebagaimana Saya kemukakan di atas berkali kali bahwa segala macam perbuatan, kejadian, peristiwa apapun yang terjadi pada hakekatnya adalah perbuatan Allah s.w.t., yang jahat ataupun yang baik.
Dapat dikatakan demikian, karena didasarkan atas keterangan Hadis Rasulullah s.a.w. di dalam doa Beliau :
١ﻟﻟﻬﻢٳﻧﻲ١ءﻮذڊﻚﻣﻨك
(Allahumma Inni A’udzubika minka)
“Ya Allah, Hamba berlindung kepadaMu dari segala kejahatan yang datang dari padaMu”
Catatan :
Dalam Hadis lain ada pula isti’adzah (permohonan berlindung diri) yang diajakarkan oleh Rasulullah s.a.w. “Allahumma inni a’udzubika min syarri ma kholakta” artinya : Ya Allah hamba berlindung kepadaMu dari segala kejahatan yang Engkau ciptakan.
Kalau sekiranya kejahatan/kejelekan itu bukan dari pada Allah pada hakekatnya, maka tidak mungkin Beliau mengucapkan doa demikian.
Allah berfirman :
ﻗﻞﻛﻞﻣﻦﻋﻨﺪﷲ
(Qul Kullun Min Indillahi)
“Katakanlah olehmu (hai Muhammad) segala-galanya adalah dari sisi Allah”
Sebagian dari Arif Billah memberikan sebuah maisal (contoh) untuk sekedar mendekatkan paham- namun bukan berarti tepat demikian hubungan hamba dengan Allah, Ialah :
“Laksana wayang yang dimainkan oleh dalang dengan bermacam gerak dan laku”
Namun semua gerak dan laku si wayang itu adlah suatu “kenyataan” (mashhar) dari pada perbuatan dan laku pak dalang semata-mata, bukanlah gerak dan laku dari wayang itu sendiri.
Meskipun demikian bahwa segala macam perbuatan, peristiwa, kejadian dan sebagainya dalam arti hakiki adalah Af’al Allah- tapi janganlah anda tafsirkan “gugur taklif syara” artinya hilang bagi anda kewajiban hukum. Jangan pula hendaknya di itikadkan, lalu melepaskan Syariat Muhammad (ketentuan hukum Islam)
Apabila sekiranya anda sampai berkeyakinan/beritikad, gugur taklif syara (atau tidak perlu bersyariat lagi) maka jatuhlah anda kedalam golongan yang dinamakan Kafir Zindik(na’udzubillahi min dzalik).
Oleh sebab itu pegang teguhlah Syariat Muhammad tetap dan terus menerus musyahadah Af’al sehingga anda selamat dalam arti yang sebenarnya.
Bila mana tidak dengan musyahadah Af’al, meskipun anda sudah lepas dari pada Syirik Jali (Syirik yang nyata) namun belum tentu ana lepas dari pada syirik khofi.
Allah berfirman :
ﻮﻣﺎﻳﺆﻣﻦ۱ﻛﺜﺮﻫﻢﻮﻫﻢﻣﺸﺮﻛﻮن
( Wa maa yu’minu akstarahum wa hum musyrikun)
“Sebagian besar antara mereka masih tidak beriman kepada Allah, malah berlaku syirik”
Sayyid Umar bin Al Farid r.a. berkata dengan dua bait syairnya:
ﻮﻟﺆﺧﻂﺮٺﱄﰱﺳﻮ۱ك۱ر۱دۃ
ﲈﻰﺧﺎطريﺳﻬواﻗﻀﻴﺖﺑردﺗﻰ
(Wa lau khothorat lii fi siwaaka iraadatun alaa khotirii sahwan qodloitu bi riddatii)
‘Andaikata terlintas kilas khatarku, getaran hati di dalam dada, suatu kehendak yang selain padaMu Ya Tuhan,disadari ataupun tidak. Wahai celakanya diri ini remuk hancur dilumpur murtad.
Dengan pandangan, tanggapan dan anggapan yang keliru itu, menyebabkan anda tidak termasuk dalam golongan Mukmin yang sempurna.
Tetapi bila Musyahadah anda benar.
“Tidak ada yang berbuat pada hakikatnya melainkan Allah, tidak ada yang hidup pada hakikatnya melainkan Allah dan tidak ada yang Maujud pada hakikatnya melainkan Allah dan tidak ada yang Maujud pada hakikatnya melainkan Allah"
Maka dengan demikian, termasuklah anda dalam golongan Ahli Tauhid Yang Benar, suatu golongan yang dijanjikan Allah dengan 2 surga, surga yang pertama adalah surga Makrifatullah di dunia, dan surga kedua adalah Surga Akhirat yang sudah di kenal berdasarkan dalil dan nas.
Syeikhuna ‘Alimul Allamah Al-Bahru ‘arieq Abdullah ibnu Hijazi As-syarqowi al- Mishrie r.a.telah berkata : “siapa yang memasuki surga makrifatullah di dunia, niscaya tidak berhasrat dia kepada surga akhirat yang berupa bidadari, istana, pakaian, makanan dan lain-lain. Hasratnya hanyalah ingin sedekat-dekatnya pada Hadirat Allah dengan Rukyatullah (Melihat Allah dengan nyata) di akhirat kelak”.
Nikamat yang paling tinggi di akhirat adalah Ru’yatullah. Jauh sekali beda nilai antara nikmat itu dibandingkan dengan nikmat surga dalam pengertian yang sering dikemukakan.
Demikin juga dengan kenyatan melihat Allah dalam artian Makrifatullah di dunia ini yang telah terbuka pada hati orang yang telah Arifbillah, hanya sebagian kecil saja dibandingkan dengan Rukyatullah di akhirat kelak, namun mereka akan mendapatkannya karena mereka telah memuliakanya. Bermusyahadahlah Wihdatul Af’al yang memungkinkan anda untuk dapat memandang keindahan Dzat Wajibal Ujud.
Penjelasan penting :
Berkata Syekh Abdul Wahab Sya’rani qaddasallahu sirahu dalam kitab Jawahiru wad-Durar beliau memetik ucapan Syehk Mahyudi ibnu Araby r.a. :
bahwa Syekh Ibnu Araby telah mencantumkan dalam kitab beliau yang benama Futuhatul Makkiya pda bab 422 dimana beliau menjelaskan apa yang dimaksud segala perbuatan dari pada Allah dan hamba sebagai sandaran perbuatanNya, karena memng si hamba inilah yang menanggung beban siksa dan pahala.
Bila sekiranya kita terhenti pada suatu dakwan (perkiraan) bahwa segala amal perbuatan itu pada hakikatnya dari pada perbuatan kita sendiri, maka berarti Allah telah menyandarkan (meletakkan) dakwan demikian terhadap diri kita sebagai suatu cobaan allah.
Catatan :
Berdoalah kita semoga dakwan demikian jangan sampai datang kepada kita karena berarti suatu kerugian yang amat besar.
Namun demikian bila sekiranya Allah hendak memasukkan kita kedalam Hidrat Ihsan (Maksudnya : beribadat seakan akan melihat Tuhan) maka berarti tipislah hijab (dinding) itu dan kita saksikan selanjutnya bahwa segala amal pada hakikatnya adalah dari pada Allah, sedang kita sendiri tidak mempunyai amal apa apa.
Demikian selanjutnya bila Musyahadah menurut mestinya niscaya akan timbul rasa takut kita, kalau kalau tergelincir “Qidam” (Pendirian) kita.
Sebagian dari kesempurnaan adab (ahlak/tertib hukum) untuk menyatakan bahwa suatu amal dari kita sendiri sepanjang apa yang kita ketahui, hanya sekedar untuk mengamalkan apa yang difirmankan Allah s.w.t. :
( Ma Ashobaka Min Hasanatin Faminallah, Wa maa Ashobaka Min Salatin Famin Nafsika )
Artinya : “apa saja yang menimpa dirimu dari pada yang baik, adalah dari pada Allah, dan apa saja yang menimpa dirimu dari pada yang jelek (buruk) maka hal itu datang dari dirimu sendiri”
Syekhuna Al-Allamah Maulana Syekh Yusuf Abu Zarrah Al Mishrie , berkata, ketika Beliau memberikan pelajaran di Masjidil Haram; “Tidak seharusnya berkata bahwa kejahatan itu dari Allah, kecuali dalam waktu dan tingkat belajar/mengajar (maqom ta’lim) dalam jurusan ilmu ini (Tasawwuf).
Catatan :
Kata-kata “perbuatan dari pada Allah” adalah khusus dalam pengertian hakekat yang seharusnya hanya ada pada suara batin. Tetapi boleh diucapkan dalam saat-saat belajar/mengajar.
Syekhuna Ibnu Hajar r.a. dalam syarah Arba’in, menjelaskan perkataan Nabi s.a.w. yang tercantum pada bagian doa iftitah yang berbunyi “wassyaru laisa ilaik” (kejelekan/kejahatan bukan untukMu) tidak lain maksudnya, ialah untuk mengajar/mendidik adab, karena tidak seharusnya berkata dalam bentuk dan arti yang menghina terhadap Allah, seperti perkataan “ Ya allah yang menjadikan anjing” atau “Ya Allah yang menjadikan babi” meskipun sebenarnya diakui dengan pasti bahwa anjing dan babi itu adalah makhluk (yang dijadikan) Allah. Pengertian dimaksud sehubungan pula dengan Firman Allah tersebut diatas.
Syehk abdul Wahab Sya’rani q.s. pernah mengajukan pertanyaan kepada Guru beliau. Syehk Ali Al Khawwas.
Tanya : Apa maksud yang sebenarnya pengertian “usaha/Ihktiar” yang dinyatakan oleh Imam Asy’ari (Asy’ariyah)?.
Jawab : Yang dimaksud dengan pengertian “usaha/Ihktiar” adalah ta’alluq iradat mumkin(hubungan kehendak simahkluk) dengan segala kejadian/peristiwa yang dalam hal itu sesuai dengan Takdir Ilahi (Ketentuan Tuhan) . Manakala terjadi “Ta’alluq iradat” (hubungan kehendak) dengan takdir Tuhan, mereka sebutkan itu dengan Usaha/ihktiar bagi mumkin/mahkluk, pada ma’na, sedang mengambil manfaat dari usaha ihktiar itu sendiri, adalah sudah ada pada takdir.
Selanjutnya Syekh Abdul Wahab Sya’rani q.s. berkata: “aku pernah mendengar perkataan guruku Syekh Ali Al-Khawwas, kata beliau : semestinya setiap orang harus sudah mengerti“perbuatan mahkluk tidak memberi bekas” (menentukan) itu, adalah sepanjang keadaan(takwin) menurut hukum semata mata.
Maka untuk itu hendaklah anda pahami dengan benar karena pada umumnya masih banyak yang belum mengerti perbedaan antara Hukum dan Astar (bekas/kekuatan).
“Allah s.w.t. berkeinginan untuk mengadakan harkat (gerak) atau ma’na (arti/nilai) terhadap pekerjaan apapun, tidak bisa terjadi itu (tidak sah wujudnya) kecuali pada “maddahnya” (materi pekerjaan itu sendiri). Karena mustahil pekerjaan itu akan terjadi dengan sendirinya, pasti pada Mahallun (objek) yang dapat menimbulkan takwin (keadaan/peristiwa).
Objek (mahallun) yang dimaksud adalah Hamba yang mana dapat pula diartikan “si Mumkin” yang melakukannya, namun sebenarnya apa yang dilakukan oleh si mumkin tadi tidak sekali kali memberi bekas (menentukan), semoga anda bisa memahaminya, karna ini sangat rumit.
Syekh Abdul Wahab Sya’rani q.s. berkata lagi : “Aku mendengar saudaraku Afdaluddin Rahimahullah berkata : Bagi mumkin ini sama sekali tidak memiliki kodrat tetapi hanya sekedar menerima Astar Ilahi (bekas/ketentuan Tuhan). Karena sifat Kodrat itu sebenarnya adalah suatu sifat yang tidak pernah terpisah-cerai (infikak) dengan sifat-sifat Ketuhanan. Oleh sebab itu menetapkan adanya “kodrat bagi mumkin” adalah suatu dakwan yang tidak berdasar/dalil.
Catatan : salah satu guru saya berkata, bahwa hamba ini sebenarnya hanya mustanir (menerima cahaya). Inilah yang dimaksud dengan kata “hanya sekedar menerima astar Ilahi” seperti yang tersebut diatas.