Wednesday, October 31, 2018

HAKEKAT WALI


Wali diambil dari lafal al-walayah yang merupakan lawan kata dari al-‘adawah. Adapun arti dari al-walayah adalah al-mahabbah (kecintaan) dan al-qorbu (kedekatan). Sedangkan arti al-‘adawah adalah al-bugdlu (kebencian) dan al-bu’du (kejauhan). Karenanya yang disebut wali Allah adalah orang yang dia mencintai Allah ‘azza wa jalla dan dekat dengan Allah ta’ala. Dan orang seperti ini harus memiliki sifat-sifat berikut :
Pertama : Dia harus ittiba’ (mengikuti) Nabi shallallahu ‘alihi wasallam, menjalankan perintah Nabi shallallahu ‘alihi wasallam dan menjauhi larangan-larangan beliau. Berdasarkan firman Allah ta’ala:

}قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ{ (آل عمران:31)
Katakanlah :”Jika kalian mencintai Allah maka ikutlah aku maka Allah akan mencintai kalian dan memaafkan kalian dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Ali Imron :31)

Ayat ini merupakan ayat ujian yang turun untuk menguji orang-orang yang mengaku mencintai Allah ta’ala (termasuk di dalamnya orang yang mengaku dia adalah wali Allah). Jika dia benar mengikuti Nabi shallallahu ‘alihi wasallam maka kecintaannya kepada Allah ta’ala adalah benar, dan jika tidak maka cintanya adalah dusta.

Kedua : Dia harus bersifat lembut kepada kaum muslimin dan keras kepada kaum kafir, dan berjihad di jalan Allah dan tidak takut dengan celaan orang-orang yang mencela, sesuai dengan firman Allah ta’ala:

}يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ{ (المائدة:54)
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 5:54)

Hal ini sangatlah bertentangan dengan sifat sebagian orang yang mengaku dirinya wali, atau dianggap wali oleh masyarakat yang sifatnya sangat dekat dengan orang-orang kafir, bahkan mengagumi orang-orang kafir.
Ketiga : Dia harus bertaqwa dan beriman, yaitu beriman dengan hatinya dan bertaqwa dengan anggota tubuhnya, sesuai dengan firman Allah ta’ala:

}أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ{ (يونس:-6263)
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih (hati). (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. (Yunus : 62,63)
Maka barangsiapa yang mengaku sebagai wali Allah namun tidak memiliki sifat-sifat ini maka dia adalah pendusta. (Al-Ushul As-Sittah hal 171,172)



Contoh Wali

Umar bin Al-Khottob radhiyallahu ‘anhu adalah contoh seorang wali Allah bahkan telah dijamin masuk surga. Umar telah mengumpulkan banyak keajaiban dan kehebatan. Rosulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda tentangnya

قَدْ كَانَ فِيْمَا قَبْلَكُمْ مِنَ الأُمَمِ نَاسٌ مُحَدَّثُوْنَ فَإِنْ يَكُنْ مِنْ أُمَّتِيْ أَحَدٌ فَإِنَّهُ عُمَرُ
Pada umat-umat sebelum kalian ada orang-orang yang muhaddatsun (yang mendapatkan sejenis ilham dari Allah). Kalaupun ada di kalangan umatku satu orang, maka dia adalah Umar. (HR Al-Bukhari no 3469 dan Muslim no 2398)

Nabi juga bersabda :

إِنَّ اللهَ وَضَعَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ يَقُوْلُ بِهِ
Sesungguhnya Allah meletakkan kebenaran pada lisan Umar yang ia mengucapkan kebenaran tersebut. (HR Abu Dawud no 2962 dishahihkan oleh syaikh Al-Albani)

لَوْ كَانَ نَبِيٌّ بَعْدِي لَكَانَ عُمَرَ
Kalaulah ada nabi setelahku maka dia adalah Umar. (HR At-Thirmidzi no 3686, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)

Hadits-hadits ini jelas menunjukkan bahwasanya Umar radhiyallahu ‘anhu adalah seorang wali Allah, bahkan beliau mendapatkan ilham dari Allah. Selain itu beliau pernah melakukan hal-hal yang ajaib sebagaimana beliau pernah mengutus sebuah pasukan dan beliau mengangkat seorang pemuda yang bernama Sariyah untuk memimpin pasukan tersebut. Tatkala Umar sedang berkhutbah di atas mimbar, beliau berteriak :”Wahai Sariyah, gunung !, wahai Sariyah, gunung !”. Lalu utusan pasukan tersebut menemui Umar dan berkata : “Wahai Amirul Mu’minin, kami bertemu musuh, tiba-tiba ada suara teriakan :”Wahai Sariyah, gunung!”, lalu kami menyandarkan punggung-punggung kami ke gunung kemudian Allah memenangkan kami”. (HR Bukhori no 3198, dan Muslim no 1610)

Beliau juga sangat ditakuti oleh Syaitan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alihi wasallam kepada Umar,

يَا بْنَ الْخَطَّاب وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا لَقِيَكَ الشَّيْطَانُ قَطْ سَالِكًا فَجًّا إِلاَّ سَلَكَ فَجًّا غَيْرَ فَجِّكَ
“Wahai Ibnul Khotthob, -demi Yang jiwaku berada di tanganNya- tidaklah syaitan bertemu dengan engkau di jalan manapun kecuali ia mencari jalan yang lain” (HR Al-Bukhari III/1199 no 3120, III/1347 no 3480, V/2259 no 5735, Muslim IV/1863 no 2396)

Namun hal ini tidak menunjukkan bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu harus ma’sum (terjaga dari kesalahan). Kesalahan yang pernah beliau lakukan diantaranya:

1. Tatkala Nabi shallallahu ‘alihi wasallam berumroh pada tahun ke enam Hijroh bersama sekitar 1400 kaum muslimin –mereka itu adalah yang berbai’at di bawah pohon- dan Nabi shallallahu ‘alihi wasallam telah mengadakan perjanjian damai (perjanjian Hudaibiyah) dengan kaum musyrikin setelah melalui perundingan dengan kaum musyrikin. Keputusan perundingan tersebut adalah Nabi shallallahu ‘alihi wasallam dan kaum mukminin kembali ke Madinah pada tahun ini dan akan berumroh pada tahun yang akan datang. Dan Nabi shallallahu ‘alihi wasallam memberi beberapa syarat terhadap mereka yang dalam syarat-syarat tersebut ada tekanan kepada kaum muslimin secara dzohir, sehingga hal itu memberatkan kebanyakan kaum muslimin, sedangkan Allah dan Rosul-Nya lebih mengetahui dengan maslahat yang ada di balik itu. Umar radhiyallahu ‘anhu termasuk orang yang tidak setuju dengan hal itu, lalu berkata kepada Nabi shallallahu ‘alihi wasallam :”Wahai Rosulullah, bukankah kita di atas kebenaran dan musuh kita di atas kebatilan ?”, maka Nabi shallallahu ‘alihi wasallam menjawab :”Benar”, lalu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata lagi :”Bukankah orang-orang yang terbunuh diantara kita masuk ke dalam surga dan orang-orang yang terbunuh di antara mereka masuk ke dalam neraka?”, Nabi shallallahu ‘alihi wasallam menjawab :”Benar”. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata :”Kenapa kita bersikap merendah pada agama kita?”, Nabi berkata :”Aku adalah Rosulullah dan Allah adalah penolongku dan aku bukanlah orang yang bermaksiat kepadanya.”, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata :”Bukankah engkau berkata kepada kami bahwa kita akan mendatangi baitulloh dan berthowaf ?”, Nabi berkata :”Benar”. Nabi shallallahu ‘alihi wasallam berkata lagi:”Apakah aku mengatakan kepadamu sesungguhnya engkau akan mendatanginya pada tahun ini?”, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata :”Tidak”, Nabi shallallahu ‘alihi wasallam berkata :”Sesungguhnya engkau akan mendatanginya dan berthowaf.”

Umar pun mendatangi Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan berkata kepadanya sebagaimana perkataannya kepada Rosulullah. Dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pun menjawab sebagaimana jawaban Rosulullah shallallahu ‘alihi wasallam, padahal dia tidak mendengar jawaban Rosulullah shallallahu ‘alihi wasallam (kepada Umar). Dan Abu Bakar shallallahu ‘alihi wasallam adalah orang yang lebih sering sesuai dengan Allah dan Rosul-Nya dari pada Umar radhiyallahu ‘anhu, dan Umar radhiyallahu ‘anhu mengakui kesalahannya dan berkata :”Aku benar-benar akan mengamalkannya” (HR Bukhori no 2732, 2732)

2. Ketika Nabi shallallahu ‘alihi wasallam wafat, Umar mengingkari kematian Nabi shallallahu ‘alihi wasallam. Namun tatkala Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata :”Sesungguhnya dia telah wafat”, maka Umar radhiyallahu ‘anhu pun menerimanya. (HR Bukhori no 1241, 1242)

3. Ketika Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat, maka Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu :”Bagaimana bisa kita memerangi manusia, sedangkan Rosulullah bersabda :”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku adalah Rosulullah. Apabila mereka mengakui hal ini maka terjagalah darah-darah dan harta-harta mereka, kecuali dengan haknya””, maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata :”Bukankah Rosulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda “kecuali dengan haknya”?, sesungguhnya zakat termasuk haknya. Demi Allah kalau mereka itu menolak untuk membayar zakat kepadaku yang mereka membayarnya kepada Rosulullah maka aku akan memerangi mereka karena ketidakmauan mereka”. Berkata Umar radhiyallahu ‘anhu :”Demi Allah tidaklah ada, kecuali aku melihat Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi (orang-orang yang enggan membayar zakat), maka aku mengetahui bahwasanya dia adalah benar” (HR Bukhori no 1399-1400)


Faidah yang bisa diambil dari pemaparan ini adalah (lihat : Al-Furqon hal 85-88):
a. Seorang wali tidak ma’sum, bisa berbuat salah, bahkan berkali-kali sebagaimana Umar yang salah berkali-kali.
b. Seorang wali bisa memiliki karomah sebagaimana Umar yang mendapat ilham dari Allah ‘azza wajalla.
c. Tidak berarti seseorang yang mendapat karomah berarti lebih mulia daripada wali Allah yang tidak ada karomahnya. Sebagaimana Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu jelas lebih mulia daripada Umar radhiyallahu ‘anhu, namun dia tidak mendapatkan ilham dari Allah ‘azza wajalla dan tidak memiliki karomah-karomah sebagaimana yang dimiliki oleh Umar.

Berkata Ibnu Taimyah, ((Dan termasuk perkara yang perlu untuk diketahui bahwasanya karomah terkadang sesuai dengan kebutuhan seseorang. Jika seorang yang lemah imannya membutuhkan karomah atau orang yang butuh maka Allah memberikannya karomah untuk manguatkan imannya dan memenuhi kebutuhannya. Sehingga orang yang kewaliannya lebih sempurna tidak butuh kepada karomah tersebut, maka tidaklah datang kepadanya seperti karomah tersebut karena derajatnya yang tinggi. Dan tidak butuhnya ia kepada karomah tersebut bukan karena derajat kewaliannya yang kurang. Oleh karena itu munculnya karomah lebih banyak terjadi di generasi tabiin dari pada para sahabat. Berbeda dengan kejadian luar biasa yang terjadi melalui tangan-tangan para nabi untuk memberi petunjuk kepada manusia dan kebutuhan manusia…))

d. Seorang wali tetap harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah ‘azza wajalla dan Rosul-Nya dan menjauhi larangan-larangan Allah ‘azza wajalla dan Rosul-Nya. Sebagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu yang tetap melaksanakan perintah Allah ‘azza wajalla dan RasulNya

e. Walaupun seorang wali, tapi perkataan dan perbuatannya harus ditimbang dengan Al-Kitab dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wasallam yang ma’sum. Sebagaimana ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu dikembalikan (ditimbang) oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dengan Sunnah Nabi.

f. Seorang wali yang telah jelas bahwasanya perkataan atau perbuatannya menyelisihi Sunnah Nabi, maka dia harus kembali kepada kebenaran. Dan dia tidak menentangnya. Sebagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau tidak membantah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dengan berkata :”Tapi saya kan wali, saya kan mendapat ilham dari Allah, saya kan dijamin masuk surga, dan kalian harus menerima perkataan saya”

g. Seorang wali harus mematuhi syari’at Muhammad shallallahu ‘alihi wasallam. Para Nabi saja kalau hidup sekarang harus mengikuti syari’at Muhammad shallallahu ‘alihi wasallam apalagi para wali. Karena jelas para Nabi lebih bertaqwa daripada para wali dari selain Nabi.

h. Seorang wali tidak boleh menyombongkan dirinya dengan mengaku-ngaku bahwa dia adalah wali sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul kitab yang mereka mengaku bahwa mereka adalah wali-wali Allah. Allah berfirman :

}فَلاَ تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى{
Dan janganlah kalian menyatakan diri-diri kalian suci. Dia (Allah) yang lebih mengetahui tentang orang yang bertaqwa. (An-Najm : 32 )

Orang yang mengaku dirinya adalah wali maka dia telah berbuat maksiat kepada Allah ‘azza wajalla karena telah melanggar larangan Allah ‘azza wajalla ini. Dan orang yang bermaksiat tidak pantas disebut wali Allah. (Syarah Al-Ushul As-Sittah hal 170)

i. Dan juga bukan termasuk syarat sebagai wali Allah yaitu dia harus memiliki karomah. Namun karomah merupakan tambahan kenikmatan yang Allah berikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dari kalangan para wali-Nya.

j. Wali-wali Allah tidak memiliki ciri-ciri yang khusus pada perkara-perkara mubah yang bisa membedakannya dengan manusia yang lain. Pakaiannya sama, rambutnya sama, dan yang lainnya juga sama. Ciri-ciri wali tidaklah kembali pada perkara-perkara dunia, namun ciri-ciri wali kembali pada perkara-perkara akhirat. Oleh karena itu jelas merupakan kesalahan jika sebagian orang menyangka bahwa ahlu suffah telah mencapai derajat kewalian karena sekedar sifat mereka yang miskin dan kumuh, demikian juga sebagian orang yang menyangka bahwa ciri-ciri wali adalah orang yang memakai sorban, atau memakai tongkat, atau membawa selendang hijau, atau ciri-ciri yang lainnya.

Sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i dan juga dinyatakan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar bahwasanya keajaiban dan keluarbiasaan juga ternyata bisa dilakukan oleh orang yang berada diatas kebatilan, seperti penyihir, dukun, maupun pendeta. Tentunya kesaktian yang mereka miliki adalah berkat bantuan teman-teman mereka dari kalangan jin dan syaitan, atau istidroj dari Allah. Karenanya perlu kita untuk mengetahui perbedaan antara karomah wali dan tipuan kesaktian/tipuan syaitan.


Diantara perbedaannya adalah :

1. Bahwa karomah para wali disebabkan oleh keimanan dan ketaqwaan. Sedangkan keajaiban dan keluarbiasaan lain yang merupakan bantuan syaithon disebabkan oleh hal-hal yang merupakan larangan Allah ‘azza wajalla dan Rosulullah. Jadi apabila di dalamnya mengandung unsur-unsur yang disenangi oleh syaithon, baik itu kemusyrikan, kedzoliman, kemaksiatan (seperti musik) atau kebid’ahan, maka jelas yang terjadi pasti bukan karomah.

2. Karomah tidak bisa dibatalkan dengan bacaan-bacaan apa saja dan tidak bisa dilawan. Sedangkan kejadian-kejadian luar biasa lain yang merupakan bantuan syaithon bisa dibatalkan dengan bacaan-bacaan ayat-ayat Allah seperti ayat kursi dan lain-lain.

3. Karomah tidak bisa dipelajari sehingga menjadi suatu ilmu kedigdayaan yang baku. Sedangkan kejadian-kejadian luar biasa yang berasal dari syaithon bisa dipelajari. Sebagaimana karomah-karomah yang telah dimiliki oleh para salaf, tidak ada satu atsarpun yang menunjukkan bahwa mereka pernah mengajarkan karomah mereka kepada orang lain. Sebagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau tidak pernah mengajarkan karomahnya kepada orang lain, kerena memang tidak bisa diajarkan, akan tetapi murni anugerah dari Allah semata.

Dari sini kita paham bahwasanya hukum tenaga dalam, jika diatasnamakan Islam (biasanya dicampur dengan dzikir-dzikir asma Allah) maka adalah harom. Karena tenaga dalam biasanya menjadi ilmu yang baku dan bisa dipelajari. Dan tidak ada dalil sama sekali bahwa dengan bacaan-bacaan disertai gerakan-gerakan khusus yang mereka lakukan bisa mengahasilkan tenaga dalam.

Selain itu praktek-praktek latihan tenaga dalam yang ada menyelisihi syari’at diantaranya :

a. Latihannya harus menggunakan emosi, padahal Rosulullah shallallahu ‘alihi wasallam telah melarang seseorang untuk emosi, beliau bersabda :
لاَ تَغْضَبْ
“Janganlah engkau marah”

Rahasia mereka (yang latihan tenaga dalam) harus marah sebab dengan marah tersebut syaithon bisa masuk dalam tubuh mereka sehingga bisa memberi kekuatan untuk tenaga dalam mereka. Sebagaimana sabda Rosulullah :

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ بَنِي آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ
Sesungguhnya syaithon mengalir dalam tubuh manusia sebagaimana aliran darah. (Riwayat Bukhori)

b. Ketika latihan, mereka sering tidak sadar, terutama ketika sedang memprkatekkan jurus mereka. Hal ini sama saja dengan sengaja membuat diri menjadi tidak sadar (alias mabuk), dan hal ini tidak boleh dalam Islam, sebab Islam menganjurkan kita untuk senantiasa menjaga akal kita sehingga bisa senantiasa berdzikir kepada Allah.

c. Kadang disertai dengan puasa mutih (tidak boleh makan kecuali yang putih-putih), yang ini tidak ada syari’atnya dalam Islam. Atau untuk menjaga ilmunya dia harus menghindari pantangan-pantangan tertentu yang sebenarnya hal itu dihalalkan baginya sebelum dia memiliki ilmu tenaga dalam tersebut. Dan ini berarti mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah.

Adapun jika tenaga dalam tersebut murni hasil latihan tanpa disertai ritual yang bermacam-macam, dan jika memang bisa menghasilkan tenaga dalam maka hal ini tentunya tidak mengapa, dan dia bukan termasuk karomat wali karena orang kafirpun bisa melakukannya.

4. Karomah pada umumnya tidak bisa dilakukan terus menerus, tetapi terjadi sesuai kehendak Allah bukan berdasarkan kehendak Wali yang mendapatkan karomah tersebut.


Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah mengakui adanya karomah, tidak sebagaimana mu’tazilah yang mengingkari karomah dan berkata :”Kalau kita mengakui karomah, maka akan sama wali dengan Nabi”, karena meskipun mukjizat dan karomat sama-sama merupakan perkara yang ajaib dan luar biasa akan tetapi ada perbedaan antara mukjizat dengan karomah.

Perbedaannya :
– Mu’jizat hanya berlaku pada para nabi dan rosul, adapun karomah pada para wali. Mu’jizat diperoleh dengan kenabian, adapun karomah diperoleh dengan ketaqwaan. Karenanya pemilik karomah tidak pernah mengaku sebagai nabi, berbeda dengan pemilik mukjizat ia mempropagandakan kenabiannya
– Karomah kedudukannya lebih rendah daripada mu’jizat, karena tidaklah seorang wali memiliki karomah kecuali karena ia telah mengikuti Nabinya sang pemilik mukjizat.
– Akibat dari mu’jizat adalah baik, adapun efek samping dari karomah belum tentu. Karena bisa jadi seseorang mendapatkan karomah lalu semakin rendah derjatnya karena dia menggunakan karomahnya untuk bermaksiat kepada Allah. (Misalnya dia sombong dengan karomah yang pernah dia alami, atau dia merasa telah bertaqwa dan yakin masuk surga dengan karomahnya itu). Contohnya yang terjadi pada Bal’aam bin Ba’uuroo. Beliau termasuk ahli ibadah di zaman bani Israil. Ia memiliki karomat, tidaklah ia meminta sesuatu kepada Allah kecuali Allah mengabulkannya. Maka kaumnyapun mendatanginya dan memintanya agar berdoa keburukan atas nabi Musa dan kaumnya. Maka setelah kaumnya merayu-rayunya dan memaksanya akhirnya iapun memenuhi permintaan kaumnya maka Allahpun mencabut karomahnya tersebut (Lihat Ad-Dur Al-Mantsur III/610 tafsir surat Al-A’rof ayat 175).
– Pemilik mu’jizat (yaitu para Nabi dan Rosul) menantang orang-orang yang menyelisihinya, adapun pemilik karomah tidak demikian